Mohon tunggu...
Prima Anugrahaningtyas
Prima Anugrahaningtyas Mohon Tunggu... Penulis - Hello readers :-)

Penulis dan Pembaca Buku : SEMANGAT GARIS KERAS (Gerakan Wajib Belajar Selamanya) by Anugrah Prima IG : @prima_everyday

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Cela

19 Oktober 2019   14:17 Diperbarui: 19 Oktober 2019   14:41 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Anugrah Prima 

Seringkali kita temui beberapa individu yang bahagia ketika berhasil mencela kepada individu yang lain di depan banyak orang agar orang tersebut merasa malu dan terjatuhkan harga dirinya. Bullying ? Yups.. Termasuk di dalamnya. Jika ditanya apa untungnya berbuat demikian ? Banyak alasan mengenai hal tersebut, salah satu diantaranya adalah demi sebuah pengakuan dan merasa dirinya lebih baik dibandingkan dengan yang dicela. Ingat, bahwa merasa lebih baik di sini adalah perasaan yang berasal dari sudut pandang pribadi si pencela. Ge-er yang berlebihan tepatnya. 

Efek dari tindakan ini telah memakan korban yang tak sedikit. Bahkan sampai ke tingkat suicide atau bunuh diri. Kali ini kita berbicara tentang tindakan bullying atau penindasan secara psikologis, bukan secara fisik, mengingat keduanya juga sama-sama disebut bullying. 

Penindasan secara psikologis menimbulkan bekas yang dalam dan sulit terlupakan. Kesedihan yang berlarut terkadang membendung benteng pertahanan kekuatan diri. Daya cenderung melemah dan ketakutan berlebih ketika akan melangkah menuju babak baru dalam sebuah kehidupan. Ini memang bukan tentang lelucon sederhana, tetapi makna dalam setiap kalimat yang terucap. Kematangan jiwa memang menempuh masanya secara bertahap dan tidak mudah. Sekedar hidup saja tak cukup untuk melewati fase demi fase agar diri ini kembali pada kesadaran bahwa kenyataan itu memang tak harus manis. 

Jika kenyataan sudah sebegitu peliknya, ke mana harus mencari bibit untuk bangkit yang nantinya akan ditanam guna mengubah duka ? Jawabannya yakni menyatu dengan Tuhan dan kembali pada diri sendiri. Kita sama-sama ubah haluannya dan kita kendalikan sesuai kapasitas yang Tuhan berikan kepada kita. Kita harus berpikir bahwa yang mencela atau menindas kita ini bukan makhluk yang super kuat sekuat hinaannya. Mereka yang menindas kita secara psikologis adalah contoh nyata dari kaum yang lemah dalam menguasai diri mereka sendiri. Mereka dihadirkan bukan untuk merepotkan kita, tapi justru membuat kita naik. Mereka ada juga bukan semata-mata karena kita ini makhluk terhina di bawahnya, melainkan mereka yang sudah merasa dari awal bahwa kita berada pada posisi yang mengancamnya secara pribadi. Jika diamnya kita saja sudah cukup membuat mereka terancam, anggap saja berarti kita ini sudah lebih dulu memegang kartu sakti jauh sebelum kita melawannya. Apakah kita perlu melawan ? Tentu saja. 

Melawan bukan berarti harus melakukan hal yang sama dengan yang mereka lakukan. Pastikan bahwa kita ini tak sama dengan makhluk seperti mereka dan memiliki cara tersendiri untuk keluar dari zona itu. Kita perbanyak untuk berfokus pada perbaikan kualitas kita secara pribadi. Penindasan tak harus dibalas dengan penindasan yang sama. Maksimalkan pendekatan dengan pencipta kita dan berupaya keras dalam eksplorasi diri pada jalur yang positif. Mereka sibuk membicarakan kita, mencela kita atau apapun aktifitas semacamnya, namun kita justru sibuk merumuskan masa depan yang lebih baik. 10 langkah terbaik kita adalah mundurnya langkah mereka menjauhi kita. Kemenangan tak pernah ditempuh secara instan, melainkan dengan proses yang seringkali perlu perjuangan luar biasa. Tidak apa-apa. Tetaplah bergerak maju. 

Segala cela yang datang menghampiri tak kemudian dianggap sebagai satu-satunya batu sandungan dalam hidup. Karena bagi mereka yang minim cela atau hinaan dalam hidupnya pun menemui halangan yang seringkali tak lain adalah diri mereka sendiri. Jadi porosnya adalah tentang bagaimana mengolah dan mengendalikan pribadi masing-masing. 

Semua yang dihadirkan oleh Tuhan adalah bukan tanpa alasan. Jangan hanya berfokus pada bagaimana orang lain memperlakukan kita, tetapi kita harus berdaya dalam setiap kondisi apapun sekalipun itu bukan kondisi yang kita inginkan. Kita lewati pijakan demi pijakan untuk naik dan berupaya yang lebih dari biasanya, karena orang yang akan menemukan keberhasilan adalah mereka yang selalu memberi energi lebih pada setiap perjalanannya. Bukan masa yang dilalui dengan biasa-biasa saja. Setiap hal butuh perjuangan ekstra hebat. Berjuang dalam tangis, letih, tertahan, penuh peluh keringat, kekecewaan, kegagalan, penghinaan, cibiran, tekanan, ketidak-cocokan, dan semua yang kita anggap sebagai penghalang. Bukan, semua itu bukan penghalang, melainkan amunisi untuk menjadi pribadi yang teruji. Di dalamnya pasti ada kekuatan yang lebih yang sudah Tuhan persiapkan untuk jiwa-jiwa yang luar biasa. Kita hanya perlu panjang sabar dan mencari titik kebersyukuran. Pikirkan bahwa jika tidak ada yang melakukan penghinaan dan penindasan psikologis kepada kita, lalu bagaimana kita menjadi lebih kuat dari sebelumnya ? Setiap manusia yang ingin lulus juga pasti harus menyelesaikan ujiannya masing-masing. Karena pada dasarnya tidak ada kelulusan tanpa ujian. 

Perihal kemenangan yang seperti apa yang dapat kita peroleh pada akhirnya ? Seperti falsafah Jawa yaitu "Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake", yang artinya kurang lebih adalah tak semua peperangan itu harus dilakukan dengan memperbanyak bala pasukan pembela untuk setia melindungi atau membela kita, karena sendiri pun kita mampu asal berada di jalur yang benar. Selain itu, kita juga tetap bisa menang tanpa menjatuhkan atau merendahkan orang lain sekalipun kepada mereka yang telah memusuhi kita. Jangan pernah menyakiti mereka yang menyakiti kita karena kita sudah paham bahwa itu menyakitkan. Kemenangan yang sejati bukanlah yang telah berhasil menjatuhkan, merendahkan, ataupun mempermalukan orang lain. Mungkin terkesan menang, tetapi sebenarnya mereka telah mengalami kekalahan dalam menghadapi dirinya sendiri. 

Hinaan dan cela memang menimbulkan luka yang tak terlihat, tetapi kita harus memliki kemampuan untuk pandai merawatnya. Perih memang, tapi itu akan menguatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun