DILEMATIS ANAK KORBAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
      Setiap hubungan pernikahan pada setiap insan, tidaklah luput dari berbagai macam tantangan atau bahkan cobaan yang datang seiring pernikahan tersebut berjalan. Setiap tantangan dan cobaan tersebut sebagai halnya ujian yang menguji kesetiaan pasangan, jika bertahan diartikan ujian itu lulus atau bahkan gagal adalah artian dari sebuah kata menyerah. Sejauh ini ada berapa hubungan pernikahan yang masih bertahan?
      Pengadilan Agama adalah sebuah tempat atau Lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengadili perkara keluarga sebagai keputusan terakhir dari persoalan suami istri yang telah menempuh beberapa cara untuk mengatasinya bahkan bermediasi yang sama sekali tidak bermuara pada perdamaian. Pengadilan Agama adalah tempat yang sangat dihindari dari setiap hubungan pernikahan, namun apa daya jika hanya di Pengadilan Agama lah mereka dapat mengajukan Upaya terakhirnya. Perceraian adalah sebuah perkara yang sangat mendominasi pada hampir seluruh dari banyaknya- Pengadilan Agama di Indonesia.
Dalam proses perceraian ini tidak hanya menyangkut kedua belah pihak khususnya pasangan yang telah memiliki buah hatinya (Anak), tetapi juga berdampak pada Anak -- anak mereka. Mengingat dalam kompilasi Hukum Islam pasal 105 disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) adalah pada ibunya, sedangkan jika sudah mumayyiz akan diberikan hak untuk memilih apakah akan tinggal bersama ayah atau ibunya. Sudah dipastikan seorang anak pastinya akan merasa dilema ketika diminta untuk menentukan pilihannya kepada siapa ia akan memilih antara ayah atau ibunya.Â
Dilihat secara psikologis seorang anak pasti merasa tertekan akan keputusan kedua orang tuanya untuk bercerai, ditambah lagi tuntutan yang dibebankan kepadanya untuk memilih tinggal bersama ayah atau ibunya.
      Perceraian yang terjadi akibat kedua belah pihak yang saling mempertahankan keinginannya, menampilkan keegoisannya, dan tetap kekeh akan keinginan untuk berpisah disadari akan menimbulkan banyak sekali dampah -- dampak setelahnya. Bukan hanya berdampak pada status kedua belah pihak, tetapi juga terhadap nasib dan mental seorang Anak dari pernikahan tersebut. Tidak salah jika dikatakan bahwa korban sesungguhnya dari pernikahan yang harus berakhir itu adalah Anak, mengingat pada umumnya bahwa Anak pada perkembangan otak dan fisiknya pastilah didampingi oleh kedua orang tuanya dengan kehangatan dan kebersamaan didalamnya. Disisi lain, perceraian juga sangat berdampak pada kehidupan social Anak, menyandang status sebagai anak dari orang tua yang telah bercerai itu tidak akan mudah baginya. Bagaimana psikis anak yang mendapat julukan "Anak Broken Home" itu?
Tidak terbayang betapa dilematisnya seorang anak yang harus menjadi korban dari sebuah perceraian orang tuanya, korban (anak) pada perkara ini sebenarnya bisa menjadi pertimbangan bagi orang tuanya agar tidak berakhir dengan perpisahan. atau setidaknya menjadi pertimbangan bagi kedua orangtuanya sebelum meminta pengasuhan anak dalam petitum gugatan/permohonannya maupun dalam  rekonvensinya jika memang pernikahan keduanya sudah tidak bisa dipertahankan, Majelis Hakim mendamaikan para pihak dengan dalih untuk kepentingan anak, karena anak akan menjadi korban utama dari perceraian yang terjadi diantara keduanya, namun pada akhirnya angka perceraian masih saja tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H