Aku perempuan Bugis ditentang adat. Mengapa hanya Aku yang menanggung semuanya?. Tidakkah rasa yang menguap itu milik semuanya? Ataukah hanya Aku yang mencoba menilik kedalamannya....?! Saat ini, Aku berdiri di tepian pantai Losari. Memandang hamparan langit Biru yang memantul di kedalaman laut yang juga Biru. Aku ingat, ketika burung camar membawa seonggok daging di hadapanku. aku terpaku, ada jantung yang tergores namaku. Kutau itu kamu. Aku tertawa setelah itu. Bahkan air matakupun leleh diterjang ombak. Dulu... Bertahun-tahun, bahkan berabad-abad yang lalu hingga sekarangpun, mungkin tak ada yang menyadari. Bahwa di waktu-waktu tertentu, laut berubah menjadi tawar. Kenapa begitu? laut, bukan hanya pertemuan bibir pantai dengan tanah yang mengering. Ada tangis di situ. Bercampur dan akan selalu membekas. Lantas tawar. Saat ini, Aku memandang kecipak kecil di permukaan air laut. Ada ikan di situ, bermain saling menggoda. Nanar kutatap mereka. Kuingat semua tentang kita. Mengapa adat selalu menjadi penghalang diantara kita? Berkali-kali aku memohon kepada mereka untuk tidak menghalangi kasih ini. Aku selalu menentang segala titah mereka. Itu demi siapa?. Itu demi kamu. Yah..hanya kamu. Kamu aneh, tidak sedikitpun juang mempertahankan kisah ini. Hanya Aku yang berusaha menanggung semuanya. Cih...hanya Aku yang ingin membangun kembali puing-puing kehancuran kita. Bagiku, tak ada lagi tapal batas diantara semuanya. Mereka selalu berkoar-koar tentang Siri'*). Mereka terlalu mengagungkan kata itu. Aku paham, setelah kejadian itu. Kita pergi dari kotaku ini secara diam-diam. Karena apa?. Karena mereka tidak mau memahami kita. Tidak memahami cinta kita yang begitu luar biasa. Cinta kita yang katanya terlarang. Terlalu menentang adat. Menentang orang tua. Mencoreng muka keluarga. Keluarga yang manaaaa...??? Kamu membawaku pergi, mengikatku dengan janji. Dan menyematkan sebuah cincin di jari manisku. Aku bahagia saat itu. Kulepaskan semua atribut tentang diriku. Aku ini anak Karaeng. Aliran darahku dibebat adat. Terlalu banyak kekang ditubuhku. Hingga Aku sadar, tak ada yang bisa melarangku untuk selalu bersamamu. Setelah kepergianmu. Berbulan-bulan lalu. Kamu menitipkan sesuatu di dalam tubuhku. Sebuah cikal bakal dirimu. Tanpa dirimu, Aku kembali ke kotaku ini. Menemui mereka di ujung tahta. Mereka terlihat pongah seakan ingin meludahiku. Andai saat itu kamu melihat wajah-wajah mereka. Kamu akan segera melindungiku. Aku tak lagi mengenal mereka seperti yang dulu mereka mengenalku. Entah apa yang membuatku berjalan ke pantai ini. Aku ingin melarung sesuatu. Aku tau kamu selalu setia menungguku di sana. Di birunya laut, pernah kutitipkan semuanya. Menitipkan air mataku saat mendapati bagian tubuhmu. Kuraba perutku yang membesar dengan sayang. Bagian dirimu telah menyatu denganku. Sebentar lagi kutetaskan. Ingin kutetaskan bersamamu. Hanya bersamamu. Aku akan menemuimu. Biarkan mereka tak ada yang tau. Meski berat kutanggalkan kehidupan di atas sini. Mungkin Lebih indah di sana bersamamu di birunya laut. Kakiku kini basah, juga separuh tubuhku. Sebentar lagi semuanya kutenggelamkan. Kalau memang Siri' mereka lebih besar dibanding rasa cinta kepadaku. Biarlah, kularung saja Siri' itu ke laut. Biarkan dihempaskan ombak dan mengambang di samudera biru. Itu lebih baik... Makassar, Januari 2011 *) Siri' : Siri' diartikan sebagai rasa malu dan harga diri. Bagi masyarakat Sulsel dan Sulbar, konsep Siri' dalam bentuk prinsip hidup yang telah mendarah daging dan termanifestasikan pada kehidupan sehari-hari berupa sikap saling menghargai, saling bekerja sama, menjaga kehormatan keluarga, adat dan lain-lain.-- Dari buku The Secret Of Siri' Na Pesse karya Mustari Idris Mannahao.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H