Suatu ketika di jaman saya masih kuliah pernah ditegur seorang Dosen, yang pada waktu itu sedang memeriksa tugas makalah mahasiswa. Â Tugas itu berupa makalah perorangan yang akan menjadi bahan diskusi di kelas.
Setelah lama menyimak dan mengulang membaca beberapa bagian yang mungkin dianggapnya janggal, Dosen itu sebut saja Pak Prof berkata "tulisan Saudara, halaman sekian paragraf sekian, saya yakin bukan buah pemikiran Saudara, hati-hatilah! Saudara bisa dicap plagiator jika tidak mencantumkan siapa Penulisnya, jangan sampai terulang!" Tegas Pak Prof. Â "Saya Prof!" Ujarku mengiyakan keteledoranku.
Ternyata selidik punya selidik hampir semua tugas yang diperiksa pada hari itu penyakitnya sama, setelah didiagnosis terindikasi Plagiat dengan gejala yang mirip tidak mencantumkan pengarang, tahun terbit dan penerbit beberapa bagian tulisan yang merupakan hasil penelitian atau karya cipta orang lain. Dan itu  menjadi pembelajaran berharga bagi kami mahasiswa waktu itu, sehingga tidak terulang pada penyusunan tugas dan karya ilmiah lainnya sampai pada pembuatan Skripsi dan ataupun Tesis.
Namun Apa yang Terjadi Hari Ini?
Ternyata penyakit Plagiarism semakin menjadi dan merambah di dunia kepenulisan luar kampus dan boleh dikata makin parah dan akut.
Sebagai penulis pemula yang kata orang amatiran yang kalo kata saya sendiri pengarang picisan senantiasa memegang prinsip hati-hati dan waspada tingkat tinggi acapkali menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan artikel terlebih untuk tayang di media sosial sekelas Kompasiana.  Sehingga untuk menjamin tulisan saya yang serampangan itu sekaligus untuk belajar disiplin dan bertanggungjawab, maka pada beberapa naskah/draft ataupun tulisan yang sudah tayang, saya beri nama folder KOMPOR (Kompasiana Original), termasuk artikel ini saya beri label "Kompor Plagiat" pada hard disk di laptop saya.
Maraknya kasus artikel  yang tiba-tiba dicaplok dan diposting oleh orang yang tidak bertanggungjawab dengan tidak menyertakan siapa penulis sebenarnya, tidak hanya membuat ketar ketir si Penulis asli (terlepas dari adanya Penulis yang memang secara ikhlas dan legowo jika suatu ketika tulisannya disebar luaskan dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama), tetapi sedikit membuat saya rese dan merasa perlu juga untuk berbagi gerah di Kompasiana. Dari pengamatan saya, bahwa Plagiator itu ada karena 4C yang menyertainya.
1. Coba-coba
Awalnya coba-coba saja, karena ketagihan jadinya keterusan, akhirnya jadi penyakit yang kronis.   Si Plagiator akan merasa lain saja ketika tidak menyontek, meniru dan menyalin tulisan orang. Sehingga dengan melakukan itu perasaannya akan menjadi enak (sudah tentu bikin tidak enak bagi si Empunya tulisan).
Si plagiator tentu tahu apa akibat perbuatannya, apabila di kemudian hari ketahuan. Bukan saja malu tetapi dampak yang lebih parah bisa terjadi seperti diproses di ranah hukum, ataupun dicoret dari keanggotaan Kompasiana (hmm, jangan sampai).
2. Cuma-Cuma
Plagiat merupakan pekerjaan yang paling ringan, tidak memerlukan banyak tenaga dan tentunya cuma-cuma (gratis) alias tidak bayar.
Sepintas memang efisien, gampang dan tidak menguras pikiran. Tetapi hal ini menggambarkan hilangnya kepercayaan diri yang pada gilirannya akan menghambat kreativitas, tidak berkembangnya ide dan tentu saja mencirikan manusia yang tidak produktif.
3. Cari Perhatian
Apa yang ada di benak seorang Plagiator? Mudah ditebak, cari perhatian. Ingin dikenal sebagai penulis yang hebat dan berpengalaman. Wah!!!
Semakin berkembangnya teknologi dan semakin mudahnya seseorang mengakses internet menjadikan pula puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan artikel yang bisa diunduh setiap hari.
Apa lacur? Artikel-artikel terbaik dan menarik dapat dipilah dan dipilih lalu dipublikasi dan dibuat seolah-olah itu buah pikir dirinya. Sungguh Terlalu!
4. Copy Paste
Harusnya point ini ditempatkan di urutan pertama. Tidak mengapa, semata hanya ingin menegaskan bahwa point inilah yang menjadi kunci kegiatan plagiat, yaitu memindahkan bulat-bulat cipta karya orang.
Kasus terakhir yang sempat saya baca adalah yang menimpa kompasianer Didik Sedyadi (Artikelku Diplagiat Orang) sudah menjadi bukti bahwa "kejahatan" ini masih merajalela dan cenderung meningkat. Lalu bagaimana kompasiana melacak dan mendeteksi adanya postingan artikel yang ditengarai hasil "rampokan"? (cukup sadis istilahnya ya? Tak apa, biar si perampok jadi kapok...). Jawabnya cukuplah Pengelola Kompasiana dengan Pakar IT dan perangkat canggihnya yang tahu. Sebab Kompasiana dijamin enggak bakal membocorkan rahasia dapurnya itu (hehe).
Paling tidak,  google sedikit banyak membantu untuk mengecek adanya "artikel-artikel palsu" yang mungkin saja itu milik anda dimuat di blog lain bahkan "status palsu" yang mungkin saja itu status anda yang kemudian tiba-tiba nangkring di media sosial Facebook. Saya sebut facebook karena media ini yang menurut saya paling populer (dari segi pengguna) ketimbang jejaring sosial lainnya dan memiliki potensi yang paling besar untuk penyebaran dan penularan wabah penyakit ini. Trik yang paling mudah adalah dengan mengetik beberapa kata kunci dari sebuah artikel (misal judul) atau beberapa baris dalam paragraf tertentu di mesin pencari google, maka seketika akan muncul kalimat atau kata yang memuat kata kunci tadi. Saya pribadi itu tidak jadi soal, toh belum ada juga tuh hasil karyaku yang diambil orang (hehe, murahan siiih). Tapi cerita akan lain, ketika tulisan itu akan publish di Kompasiana (Hmmm)... Selain pengelola Kompasiana sendiri, ribuan Penulis siap menilai dan mengomentari hasil tulisan itu.
JADI KALAUPUN TERPAKSA HARUS MENGCOPY PASTE KARYA ORANG, CANTUMKANLAH SUMBERNYA YANG JELAS. Waspadalah!
***
Sumber Gambar : Di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H