Cerita Sebelumnya : Bunga-bunga Toleransi #2
________________________________
Hujanlah yang mengantar tidurku semalam, dan hujan pulalah yang membangunkanku. Yah, di luar hujan masih deras membuat udara semakin dingin saja. Jika memperturutkan keinginan mungkin lebih baik melanjutkan tidur saja. Tetapi panggilan subuh mengalahkan bisik-bisik godaan itu. Aku menggeliat melepas selimut pembungkus tubuhku dan bangkit dari pembaringan. Waktunya untuk menghadapkan wajah kepada Sang Ilahi Rabbi.
Braaak… sebuah suara mengagetkanku. Suara apa itu? Kucingkah? Ahh, mungkin ada pohon tumbang… tapi suara itu kedengarannya dekat… Atau jangan-jangan maling?… Pikirku mulai membayangkan yang bukan-bukan.
“Oughhhh…aduuh….,” tiba-tiba kudengar suara mengaduh. Tanpa pikir panjang lagi aku keluar dari kamar dan mengamati keadaan di luar. Di ruang tengah terlihat Deni dan Tapa sudah tak lagi bekerja, mereka tertidur di samping meja komputer dengan posisi kaki yang saling menindih.
“toloong… Ariis… Deen… Tapaa!!!” “Jidoon?” Aku berlari ke arah sumber suara itu. Pintu belakang sudah terbuka, dan nampak didekat pintu Jidon terduduk meringis mengurut-urut betisnya. Badannya sudah basah kuyup. Sebuah baskom yang nyaris terbelah dua tergeletak di sampingnya. Jidon menggelesot perlahan berusaha meraih sandaran bangku panjang di situ. Dengan sigap cepat kugamit lengannya dan membantunya duduk. Ia masih meringis dan memijat-mijat kakinya. “Astaghfirullaah, Jidon kenapa bisa begini? Jidon bikin apakah? Kenapa subuh-subuh ada di luar?” aku bertanya sambil melihat keadaan pinggangnya.
“Air seng jalan, beta isi kolam di kamar mandi deng air hujan… maaf tuh baskom picah sudah, nanti kita4 ganti…” Begitu jawabnya dan aku sudah mengerti, bahkan dibuat terharu jadinya. Sepagi ini dia sudah bangun mengisi bak mandi dan terjatuh gara-gara itu. Kasihan... Kenapa pula itu PAM, kok ngadat terus?
“ceee, ngana ndak usah ngomong bagitu, urusan baskom nantilah itu, kita obati kakimu dulu.” Jawabku latah ikut bahasanya. MemangJidon seperti itu di rumah, lebih suka pakai logat Ambon sampai-sampai kamipun ikut-ikutan jadinya.
Aku membantunya berdiri dan memapahnya masuk ke kamarnya. Ia merebahkan badan dan melepas bajunya. Kuamatisekali lagi pinggangnya, sedikit memar. Menurut pengakuannya tadi ia membentur daun pintu saat terjatuh.
“Sebentar ya, ambil obat dulu?” Aku ke kamar mengambil minyak tawon5. Kulirik dua orang yang tertidur di ruang tengah itu. Posisi mereka kini sudah tidak saling menindih lagi, tapi saling membelakangi. Kursi plastik yang ada di situ sudah terjatuh, entah siapa yang menendangnya. Mereka benar-benar pulas, tak terpengaruh dengan suara kami barusan, mungkin mereka kecapaian ngetik semalaman atau boleh jadi hujan itu membuat mereka keenakan.
Aku kembali ke kamar Jidon. Dengan sangat hati-hati kuoleskan minyak tawon itu di pinggang Jidon sambil mengurutnya pelan di bagian yang memar. Terlihat Jidon menahan sakit, tapi tak lagi mengaduh. “Oke Bro, sudahlah dulu, biar nanti kita yang urut sendiri… simpan saja minyaknya,” kata Jidon dengan suara setengah berbisik, “kamu belum shalat kan? Pi sana sudah, nanti keburu siang,” tambahnya melanjutkan.
Aku sama sekali tak menduga kalimat yang terakhir itu keluar dari mulut seorang Jidon. Meskipun aku tadi niatnya memang mau shalat, tapi urung karena menolong Jidon. Namun karena Jidon yang mengingatkan kembali, menjadi sedikit lain saja menurutku.Kupandangi wajahnya yang begitu tulus. Aku mengetuk pintu hatiku sendiri, bahkan untukmembangunkan Deni sholat subuh saja tidak pernah… Terima kasih, Don. Aku menggumam.
“Terima kasih…?” rupanya Jidon mendengar bisikku barusan, “Akulah yang harusnya berterima kasih, kamu sudah banyak membantuku.” Dia berkata tak lagi berdialek Ambon. “hmmm…tapi ngomong-ngomong … aku yang memang sepantasnya berterima kasih Don, semalam itu aku habiskan air minummu… hahaha…” Kutinggalkan Jidon yang geleng-geleng dan balas tertawa seperti melupakan rasa sakitnya.
***
Usai menunaikan sholat subuh, kuraih ponselku dan membuka facebook. Kucek satu persatu notifikasi yang masuk. Dari group Lelaki Pencinta Bunga, ada pemberitahuan yang membuatku melonjak kegirangan. Syamsuri => Aris SetiawanDana sudah saya transfer gan, sila dicek. Untuk biaya 5 bonsai Adenium seperti pesanan kemarin. Ditunggu konfirmasi pengirimannya. “Alhamdulillaah.. yess..” Sebuah pesan yang membuatku senang bukan kepalang, setidaknya ada tambahan uang saku sampai akhir Desember. Hitung-hitung, bisa bikin acara kecil-kecilan dengan anak-anak di tahun baru nanti.
Kubalas pesan tersebut, kemudian kurapikan tempat tidurku. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.20 WITA. Setelah beres-beres kamar selesai, aku keluar membangunkan Deni dan Tapa. “Tapa… sudah pagi! Bangun Bro….. Deni.. Den… subuh sudah lewat tuh,” kuguncang tubuh Tapa dan Deni. Tapa dan Deni memang bangun dan mengucek-ngucek matanya, tapi tak berselang lama mereka berdiri, memicingkan mata dan serempak menoleh ke arahku sebentar. Lalu tanpa sepatah katapun tergopoh-gopoh masuk ke kamar masing-masing. Pastilah mereka melanjutkan tidurnya.
Mataku tertuju pada secarik kertas yang direkatkan di CPU, Bos… tugas sudah beres, belom diprint… Siapa tau Bos mo baca dulu. Filenya ada di folder Bos. Ok… Deni… Kunyalakan komputer dan membuka file yang dimaksud Deni, membaca dan menyimak hal-hal penting yang sudah diperbaiki. Sepertinya tak ada lagi yang harus diedit. Teman-teman andalan. Kunyalakan printer. Kuambil beberapa lembar kertas sesuai jumlah halaman naskah, memasukkannya ke paper tray dan mencetak.
Selanjutnyabersiap-siap untuk mandi, hari ini ada banyak agenda yang menanti. Konsultasi hasil perbaikan skripsi, ke bank ngecek kiriman pembeli, packing pesanan bunga dan mencari kendaraan buat mengantar paket tersebut ke biro pengiriman barang. Biasanya untuk urusan pengiriman, Tapa yang mesti dilibatkan. Tapi hari ini sepertinya dia libur dulu untuk urusan bisnis ini. Biarlah dia istrahat, semalam ia kurang tidur.
***
Hujan akhirnya reda juga. Ada agenda tambahan hari ini, mengantar Jidon mengikuti ujian final. Sebenarnya dia sudah merasa agak baikan, katanya minyak gosok itu manjur juga. Tetapi aku khawatir dan tidak tega melihatnya jika harus bawa kendaraan sendiri. Lagian aku juga kan mau ke kampus. Biarlah sekali jalan.
***
to be continued
Bulukumba, 3112 2014 (Anugerah Os)
Episode terakhir tayang besok… Selamat Tahun Baru ^_^
________________________________
4. Kita : Saya, aku, sama dengan beta (bhs. Ambon)
5. Minyak tawon : Minyak gosok (obat tradisional) khas Makassar
Sumber Illustrasi : Di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H