***
♫♫♫ deng..dung..dung..deng..dung..deng..dung..dung..deng..dung
deng..dung..dung..deng..dung..deng..dung..dung..deng..dung ♫♫♫
Alunan suara gandrang yang bertalu itu menjadi pertanda tibanya iring-iringan yang membawa Andi Firmansyah.Kedatangannya telah membuat jantung berdebar tak keruan. Calon suami yang tiada sekalipun pernah bertemu pandang, tak pernah bertukar senyum apalagi bertegur kata mengungkap isi hati. Tetapi benih cinta telah tertanam dan sebentar lagi akan tersiram dengan ikatan janji suci. Babak baru dalam hidupku kan segera dimulai, akhir kisah masa-masa sendiri.
Semua berdiri dan bergegas menyambut rombongan pengantin laki-laki itu, tak terkecuali mereka yang semula berkumpul di kamarku. Aku tetap duduk menanti dengan perasaan sukacita, membuang jauh syak wasangka dan berharap tidak ada halangan pada hari yang bersejarah dalam hidupku ini. Jumat yang agung, adalah hari yang telah banyak terukir dalam sejarah sebagai hari pernikahan para Nabi.
Akupun telah sampai pada Jumat yang disepakati dua keluarga menjadi hari pernikahanku. Tak perlu lagi berdiam dan bersusah diri karena hati sudah tertawan. Kini tubuh sudah berbalut pakaian pengantin yang indah bersulam benang emas, menjadi mempelai yang cantik berseri. Tidaklah berlebih harapan selain bisa membangun rumah tangga dengan suamiku nanti. Menjadi istri yang berbakti dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku kelak.
***
Bunyi tetabuhan musik tiada terdengar lagi, isyarat bahwa mempelai pria sudah berada di dalam istana kami. Sayup-sayup lantunan ayat-ayat suci dikumandangkan sebagai pertanda upacara pernikahan telah dimulai.
Seorang dua keluarga yang keluar tadi sudah kembali ke kamarku. Semua wajah berseri setelah menyambut kedatangan keluarga besar andi Firmansyah. Mengungkapkan kegembiraan dengan apa yang mereka lihat, menceritakan betapa akrabnya tamu yang datang, apa saja erang-erang yang mereka bawa.
Aku diam saja melihat sikap keluarga dekatku yang begitu antusias, setidaknya itu sudah menjadi bukti pengakuan bahwa keluarga yang datang dari jauh itu mereka terima dengan baik dan telah menjadikannya sebagai bagian dari keluarga sendiri.
Sesaat kemudian, kami sama terdiam. Ibu, tante dan adik-adikku Lia, Ratih, Misna dan Nita termasuk indo botting yang ada di kamar pengantin ini menunggu detik-detik akad nikah di luar sana. Aku sempat melirik wajah ibu yang memperlihatkan lagi ketegangannya. Ayah sebagai waliku tentu sudah duduk bersama-sama dengan penghulu, saksi-saksi pernikahan dan pastinya calon suami dan keluarganya. Hmm… mudah-mudahan semua berjalan baik. Duh Ibu, jangan tegang begitu dong. Ya Allah, berilah kelancaran untuk semua urusan ini. Aamiin…
***
Selesai akad, dengan ditemani keluarga yang dituakan dari rombongan pengantar mempelai pria, Andi menuju kamar pengantin untuk menemuiku. Riuh adik-adik sepupu dan keluarga yang ada di situ sama menggoda Andi.
“Wah, benar-benar seorang pangeran tampan,” ujar seseorang.
“Dia mirip arjuna, itu lho yang main di Mahabharata,” yang lain menimpali dengan lebay dan suara khas itu pastinya si indo botting.
“Sungguh perjodohan yang sangat seimbang,” seru suara lainnya tak mau kalah.
Aku yang mendengar celoteh-celoteh itu hanya tertunduk dengan debaran jantung yang mulai tidak keruan. Dan… deg… sebuah suara yang masih asing di telingaku memberi salam.
“Assalaamu ‘alaykum wa rahmatullaahi wabarakatuh.”
Kuangkat kepala dan memperhatikan asal suara itu. Sosok laki-laki dengan pakaian pengantinnya, orangnya tinggi tegap. Tangannya memegang hulu keris hiasan yang terselip di pinggangnya, dan itu menambah kegagahannya. Matanya tampak cerah dengan alis yang agak tebal. Begitu mataku bertatapan langsung dengan matanya, dia mengangguk dan nampak sekali kepercayaan dirinya, tak ada ketegangan di wajahnya sebagaimana lancarnya ia dalam prosesi ijab qabul tadi. Senyum dan tatapannya membuatku canggung dan ada rasa malu yang tiba-tiba menjalariku.
Secara keseluruhan, ia mengingatkanku pada pemeran di film…. Akhh kok aku jadi ikut lebay begini sih? Kesan pertama, ia pribadi yang sangat mengesankan.
“Wa ‘alaykum salam warahmatullahi wabarakatuh,” ucapku menjawab salamnya. Dia kembali tersenyum dan mengangguk perlahan, dan senyum itu membentuk lekuk di pipinya. Senyum yang perlahan mengusir rasa malu itu. Hingga kemudian aku berdiri sebagai sambutan akan kedatangannya. Lalu dengan dipandu orangtua masing-masing, aku dituntun ibuku dan dia masih dengan pengantarnya kami duduk bersimpuh berhadap-hadapan.
Salah seorang yang ikut mengantarnya mengeluarkan sebuah kotak perhiasan. Dari dalam kotak dikeluarkan sebentuk cincin emas yang kemudian diserahkan kepada Andi. Kemudian Andi yang sepertinya sudah paham apa yang akan dilakukannya sebagaimana aku yang sudah diberitahu sebelumnya tentang pemasangan cincin kawing20 mengulurkan tangan kananku dan Andi menyambutnya dengan lembut. Dengan sangat hati-hati penuh penghayatan Andi memasangkan cincin itu di jari manisku.
Selanjutnya kami bersalaman, dia sudah resmi menjadi suamiku kucium tangannya dengan khidmat haru menggelora dada. Secara refleks Andi menunduk dan mengecup keningku. Aku melayang, bunga-bunga bermekaran di sekelilingku, aroma surga menyeruak memenuhi ruang hidungku. “Alhamdulillaah…” Orang-orang yang hadir di situ sama mengucap syukur, ibu bahkan sudah berlinangan air mata. Dan tanpa dikomando adik-adikku yang sedari tadi ikut menyaksikan sama bertepuk tangan meluapkan kegembiraan diikuti tepuk tangan yang lainnya. Kami semua tersenyum bahagia.
Andi memegang tanganku, aku dibantunya untuk berdiri. Dia telah menjemputku, istrinya. Aku dituntunnya keluar kamar mendatangi orang tua dan keluarga yang hadir untuk prosesi appala'popporo21. Ayah memelukku erat, hal yang sama diperbuat Ibu. Aku senang sudah membahagiakan mereka. Selanjutnya kami memasuki bilik mappaccing semalam, di sana kami menandatangani buku nikah. Mendengarkan nasehat-nasehat perkawinan. Kami menyimak setiap petuah bapak ustadz bagaimana membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Prosesi ini ditutup dengan doa bersama.
***
Demikianlah akhir kisah pernikahanku. Musik gandrang sudah ditabuh kembali, bunyi-bunyian itu mengantarkan kami keluar menuju lamming22diiringkankeluargadan kerabat handai taulan. Kami duduk bersanding menerima ucapan selamat dari tetamu undangan.
Kini aku dan Andi menjadi raja dan permaisuri sehari. Sehari? Tidak, aku tidak mau menjadi permaisuri sehari saja, sebab aku ingin menjadi pendamping selamanya buat raja yang duduk di sampingku ini.
Beberapa hari yang lalu aku sudah menghubungi teman-teman jauh yang tidak sempat kuberi undangan secara langsung. Banyaklah pula yang menyampaikan ucapan selamat via telepon atau sekedar menyatakan permohonan maaf jika tidak sempat hadir. Dan setelah itu hpku sudah off tidak aktif lagi, sampai acara mappaccing sampai prosesi nikahku hari ini. Itu sengaja kulakukan, sebab aku tidak mau di hari bahagiaku ini terganggu lagi dengan pesan nyasar yang bisa merusak suasana.
Biarkan kini aku menikmati keindahan bersama suamiku, biarkan kini aku menikmati cinta, sampai pesta usai, sampai masuk ke kamar peraduan, sampai malam pertama tiba, sampai kami beranak cucu, sampai nanti……. SELAMANYA.
***
The End
^^
Jika kita tersenyum duniapun akan tersenyum melihat kita.
Namun, jika kita menangis dunia tentu tak ‘kan mau ikut menangis
dan jadilah kita menangis sendiri…
Dunia ini ternyata indah,
meski terkadang kita telat menyadarinya…
^^
____________________
Bulukumba, Oktober 2014 (ANUGERAH OETSMAN)
20. Cincin kawing : Cincin kawin, cincin yang disematkan setelah akad nikah.
21. Appala'popporo : memohon maaf/sungkeman
22. Lamming : Pelaminan
Baca juga :