Oleh : ANUGERAH OETSMAN
***
Daeng yang terkantuk menanti penumpang dalam becak yang belum dikayuhnya ia tidur terkadang sebab tuan pelancong belum jua datang padahal hari sudah semakin siang kapan keajaiban tiba, sebentar lagi siang beranjak petang
Daeng yang mengais mengobok-obok tempat sampah tidak ada bahagia melebihi serpih yang diperoleh melimpah beratnya timbangan segera dibayar dengan rupiah segera pulang membawa intan sebongkah sambutlah duhai anak isteri, rezeki hari ini semoga berberkah
Daeng yang memohon meminta-minta tangan kanan tengadah menatap tuan berharta tangan kiri menggendong seorang balita seribu duaribu berapa saja untuk pengobat derita gerimis yang turun sudahlah ia menghapus air mata
Daeng yang terselip di belakang nama tuan berbangga sudilah berbagi sembuhkan luka yang masih menganga dengarkan nyanyian pilu mereka yang berjalan terlunta senyum yang kau berikan itupun amatlah berharga dunia yang fana, keabadian kekallah dalam Kuasa-Nya
Daeng yang tengah menulis merangkai kata pikirnya melayang di tengah keriuhan kota jemarinya kokoh sekokoh goresan yang tercipta bukan sekedar karya tanpa makna, kalimatnya meronta jauh di kedalaman hatinya... jiwa tetap bening, ketenangan bertahta ***
Bulukumba, 10 01 2015
Sumber Illustrasi : Di sini
Daeng = Kakak, Orang yang lebih tua (Bhs. Makassar)
Baca Juga :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H