[caption id="attachment_114504" align="alignleft" width="720" caption="Malam di Kotamobagu"][/caption] Aku lahir di sebuah kelurahan yang masih termasuk wilayah Kotamobagu namun di luar daerahku aku lebih sering mengatakan aku terlahir di Kotamobagu. Kupikir tak terlalu berdosalah aku, dari pada kukatakan aku dari Manado.
Bicara tentang Manado, tentu kalian semua kenal. Manado itu ibu kota Provinsi kami, tapi perjalannya 3-3,5 jam dari daerahku sehingga kupikir tergolong jauh jika dibandingkan 10 menit ke Kotamobagu. Tapi bukan sekedar jarak yang membuatku lebih merasa nyaman memperkenalkan diri sebagai orang Kotamobagu. Ada factor lain yang membuatku harus bersikap begitu.
Sebentar, kutarik napas dulu karena yang akan kusampaikan ini sedikit mengiris hati walau aku tetap saja masih bisa ber-hahahihi.
Semua ini karena factor kulit. Yach, kulit! Kulit benaran!
Kalian tentu tahulah seperti apa saudara-saudara kami dari Manado, umumnya kan berkulit putih. Aku sih nggak hitam buanget, tapi aneh juga orang yang bilang aku ini berkulit putih. Apalagi ngaku-ngaku berkulit putih, bisa terbahaklah dunia.
Karena itu, aku lebih memilih bilang dari Kotamobagu. Kami memang tidak putih, tapi Insya Allah manislah, ce’ileeee…
Tapi memang cukup merepotkan juga menjadikan Kotamobagu sebagai asal. Kita perlu penjelasan panjang kali lebar. Dan ini tak terjadi pada orang lain tapi pada diriku sendiri.
Waktu itu saya mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Malang, kebetulan yang menerima gadis cantik calon Sarjana Ekonomi jurusan Managemen yang sangat cocok menjadi wartawan penggali keanehan. Rupanya dia merasa janggal dengan tempat lahirku: Kotamobagu!
“Mas, apa sih Kotamobagu itu?” tanyanya dengan mimik heran.
“Kotamobagu itu artinya Kota Baru, Mbak, Mobagu itu artinya Baru, sedangkan Kota ya Kota,” jawabku yang diteruskan dengan penjelasan panjang (tanpa lebar) mengapa diberi nama Kotamobagu. Karena dia terus bertanya tentang sesuatu yang menurutnya unik, akupun terus menjelaskan sampai detail sejarah Bolaang Mongondow.
Pembicaraan yang luar biasa itu ternyata berdampak baik bagiku. Karena mungkin keasyikan mendengar ceritaku sampai dia lupa menagih uang pendaftaran. Tapi karena aku tergolong orang yang jujur (dan jujur saja aku sebenarnya ingin ketemu dia lagi, maklum obrolan kami asyik dan orangnya…) maka besoknya aku antar uang pendaftaran itu.
“Orang Kotabaru di Bolaang Mongondow ternyata baik, ya,” pujinya dengan senyum terindah.
Tentu saja aku bangga, sayangnya aku hanya bisa menatap wajahnya karena antrian pendaftar hari itu banyak juga. Apakah perkataannya itu suatu pertanda?
Benar, itu ternyata suatu pertanda karena ketika kuterima Kartu Tanda Mahasiswa ternyata tempat lahirku di Kotabaru, bukan Kotamobagu.
Sekedar info, ternyata Kotamobagu memang sempat bernama Kotabaru yang kemudian menjadi Kotamobagu. Lebih menarik lagi, ternyata perubahan nama ini gara-gara kuda. Nah, mau tau ceritanya. Terus membaca catatan ini yach, hehe
Kembali ke soal Kotamobagu ini, ternyata ngomong agak jujur ada hikmahnya juga. Tak seperti yang terjadi pada temanku yang tidak jujur sehingga berakibat fatal padanya—ibarat kata pepatah, sudah jatuh karena tak hati-hati (lho di mana pepatahnya, kidding, hehehe).
Si teman ini yg kita beri inisial saja TMN—nggak enaklah kalau sampai nyebut nama, hehehe.
Alkisah TMN ini berteman akrab dengan seorang mahasiswi yg cukup perfect—udah cantik, cerdas, solehah lagi. Kita beri inisial MHS saja ke mahasiswa perfect ini.
Entah apa amalan temanku TMN ini sehingga mampu menggoyahkan prinsip MHSI yang tak akan pacaran kalau belum melalui jenjang pernikahan. Setahuku mahasiswa seperti MHSI ini sangat berpegang teguh pada prinsip namun semua itu dibuyarkan oleh TMN.
TMN dan MHSI pun pacaran, ikatan perpacaran ini mereka umumkan di warung makan sederhana tempat mangkal para mahasiswa sudra. Dengan saling menyuapkan hati (ayam), resmilah mereka pacaran.
Jelas TMN bangga, terlebih banyak temannya yang cemburu alias iri. Terkait kecemburuan teman-teman ini, aku sempat mengingatkan.
“Jangan lengah utat TMN, pakailah selalu jimat yang kau bawa dari kampong halaman. Dan jangan lupa jurus silat yang telah diajarkan, yaitu lari kalau kau tak sanggup lagi,” saranku dengan mimic dibuat-buat agar terlihat berwibawa.
TMN memandangiku lama, kemudian berkata: “Wah, kamu cemburu alias iri juga rupanya.”
Aku terdiam, terpanah, persis maling jemuran yang tertangkap basah. Gimana nggak ketangkap basah, lha cucian baru sedetik dijemur sudah diumbat, pake dipeluk lagi, hihihi.
Begitulah. Hari berganti hari, kemesraan antaran TMN dan MHSI semakin menjadi. Kemesraan itu sengajar dipertontonkan padaku lagi. Siapa yg tak cemburu alias iri?
Namun, pada suatu ketika TMN datang dengan tampang kyu, muka pucuta, rambut aut-autan—persis Indro Warkop kena setrum.
Kukira dia kesambet. Kalau kesambet jin di rantau ini sih tak masalah karena ada yang tahu bahasa serta meng-ada-kan maunya si jin. Tapi bahaya kalau kesambet Bogani, soalnya saya saja yang memakai bahasa Mongondow hari-hari juga tak tahu bahasa Mongondow asli—apalagi yang tak tahu bahasa Mongondow sama sekali. Terlebih, setahu saya, di kampung saja meng-ada-kan permintaan Bogani susahnya bukan main, apalagi di rantau ini.
“Hancur sudah, Utat, semua jadi tak berguna, termasuk keberadaanku di dunia,” katanya terlihat putus asa.
“Yah, sudah, memang begitu adanya dunia. Tapi ndak usah putus asa, nanti kita pindah saja ke Jakarta,” kataku pelan.
Dia memandangiku bengong, dari matanya terlihat tanya: MEMANGNYA JAKARTA BUKAN BAGIAN DUNIA?
Kuambil air seceret, kubaca “sir-sir”[1] berulang-ulang. Di apun minum dengan semangat mereguk habis dunia.
“Apa salahnya dengan kulitku yang tidak putih? Apa salahnya dengan tampangku yang tidak Indo? Apa salahnya…”
Setelah minum, TMN terus mengoceh, mengungkapkan berbagai hal dengan awalan APA SALAHNYA, jangan-jangan TMN dirasuki jin APA SALAHNYA?
Setelah di cek & ricek (kalau catatan ini banyak yang baca, C&C harus bayar karena telah promosi, hehehe), ternyata MHSI memandang TMN telah berdusta.
Waktu itu, mereka ke Kebun Raya Bogor. Maunya TMN sich mereka ke balik pohon besar saja biar lebih bisa menikmati privasi, tapi MHSI menolak karena menurutnya di pohon itu banyak penunggunya yang akan melihat kemesraan merek—bahkan penunggu pohon ini bisa membuat hubungan mereka jadi retak[2].
TMN yang tadinya ngotot karena entah punya niat melakukan aktivitas apa dibalik pohon besar itu, agak keder juga mendengar penunggu pohon bisa meretakan hubungannya dengan MHSI.
Akhirnya mereka memilih taman di depan kolam yang terletak di tengah kebun raya.
“Abang kan akan melamar saya, tapi asal Abang saja nggak aku tahu,” kata MHSI sambil beringsut menjauh karena TMN terus saja mepet.
“Kan udah Abang bilang, asal Abang dari Manado,” kata TMN yang terus saja menggeser kedudukan agar bisa lebih dekat dengan MHSI.
“Memang benar Abang dari Manado?” tanya MHSI lagi—sangat nampak keraguan dari nada bicaranya.
“Benarlah, masak adinda tak percaya!” TMN mulai gondok.
“Tapi Abang kok tak terlihat Manadonya?”
“Gua dari manado, Dinda. Swer sampe dijewer, saya ini dari Manado,” TMN sudah bersiap melakukan sumpah pocong.
“Aduh Abang, jangan bohonglah. Siapapun tahu seperti apa orang Manado itu. Orang Manado tuch yach Bang, kulitnya putih, tampangnya seperti Indo, yach contohnya si Marselino.”
Penjelasan panjang kali lebar dari MHSI tak TMN pedulikan, malah dia bergurau. “Yach jelaslah beda, Dinda. Marcelino itu kan lahir siang hari bolong, saat langit sedang cerah. Lha, Abang kamu ini lahir tengah malam buta, saat alam gelap gulita..”
“Dasar pembohong alias pendusta,” potong MHSI.
MHSI pun mengambil tas ransel berat berisi buku, menciumkan ke bibir TMN tas itu, dan berlalu.
Kasihan benar TMN, sudah jatuh masih ditimpuk buku, huhuhu.
Makanya jangan bohong soal asalmu.
Bagiku, pokokna mah Kotamobagu I Love U.
Aku semakin cinta Kotamobagu setelah tahu hanya Kotamobagu yang disebut Kota ditempatku. Jadi, gue ternyata ORANG KOTA bro, hohoho.
Lho gak percaya kami Orang Kota?
[1] Kalimat “sir-sir” konon merupakan kalimat pengusir hantu di tempatku. Contohnya: “Sir-sir, ki ineka iko yo lagi baya’ sin noposi dolom don bo noposi singgai, aka iko doi’ maya’ yo baidon aku’oi maya’ (sir-sir, siapapun Anda maka cepatlah pergi, kalau bukan kamu yg pergi maka biarlah saya yang pergià ini siapa juga yg diusir, hehe)
[2] Ini tahyul yang ada di Kebun Raya Bogo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H