“Perempuan itu bukan lesung sehingga bisa ditumbuk sembarang alu, juga laki-laki bukan alu yang bisa ditumbuk sembarang lesung”.
Kata-kata nenek saya ini demikian membekas pada saya sehingga ketika seorang teman bertanya apakah keperawanan patut dipersoalkan ketika menjalin suatu hubungan maka saya katakan: memang patut dipersolkan!
Saya sesungguhnya bukan mempersoalkan keperawanan itu. Toh selaput darah bisa saja rusak karena bermacam akibat, mulai dari kecelakaan (kecelakaan benaran, lho!) sampai karena sudah menikah. Kecuali pada novel dan film Ketika Cinta Bertasbih dan beberapa kasus nyata, sangatla muskil ada janda yang perawan. Lagi pula, keperawanan ternyata bisa dipulihkan melalui operasi plastic saat ini. Karena itu bukan selaput darahnya yang dipersoalkan melainkan kemanusiaan.
Kata-kata nenek saya bahwa perempuan itu bukan lesung yang bisa ditumbuk sembarang alu mendapatkan tempat di sini. Ini berarti nenek saya bilang, kalau perempuan ya harus berperilaku seperti wanita, jangan seperti barang. Saya pikir ini pesan yang sangat luhur pada kita sebagai manusia dari segi ini saya meniliknya.
Mendengar penjelasan saya ini, teman saya langsung memotong: “Pantas saja kamu nggak nikah-nikah. Yang kamu harapkan itu sudah tak ada di dunia sekarang, Bung. Kecuali kamu mau menunggu mereka yang masih orok sekarang ini.”
Wah, repot juga. Bisa jadi, sudah aki-aki baru dapat penamping, atau mungkin juga pendampingnya ada setelah berpindah ke alam lain. Wah!
Memang saya sangat memahami bahwa bukan rahasia lagi banyak perempuan yang menjadikan dirinya sebagai lesung karena mereka menganggap itu sudah merupakan kebutuhan yang hampir sama dengan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Banyak survey yang bicara soal ini. Dan banyak cara untuk ke arah sana. Seorang kawan yang berpandangan ekstrim dan senang bicara blak-blakan mengatakan, baginya pacaran tanpa menjadikan dirinya sebagai alu seperti sayur tanpa garam. Bahkan sekadar berteman karib pun hal itu bisa saja terjadi.
Walau demikian, saya tetap bersikukuh bahwa ini persoalan kemanusiaan. Kita dikatakan manusia karena kita bisa dibedakan dengan ciptaan Tuhan yang lain, termasuk ciptaan Tuhan yang kemudian dikreasi manusia sehingga menjadi sebuah karya seperti lesung dan alu. Bahkan manusia harus bisa dibedakan dengan mahluk hidup ciptaan Tuhan lainnya.
Seorang teman perempuan menyerang pandangan ini. Dia mengatakan: “Kalo gitu, bisa juga dong perempuan menuntut keperjakaan lelaki?”
Ya, harus saya iyakan. Tokh nenek saya juga bilang bahwa lelaki bukan alu yang bisa menumbuk sembarang lesung. Ini berarti, lelaki yang menjadikan dirinya seperti alu juga patut dipertanyakan kemanusiaannya.
Memang Tuhan agak mengistimewakan lelaki dalam persoalan ini. Sepengetahuan saya, keperjakaan belum bisa dideteksi dan belum ditemukan detector yang bisa menguji. Namun bagi saya, bicara kemanusiaan lebih banyak terkait diri, mungkin istilahnya terkait dengan hati nurani. Masing-masing individu yang menilai dirinya sendiri. Tak perlu melibatkan orang lain, terlebih detector segala.
Karena persolan keperawanan (dan keperjakaan) terkait dengan diri maka saya sangat tidak setuju dengan tes keperawanan di dunia pendidikan yang sekarang ini sedang jadi polemic. Institusi pendidikan tak hanya tempat memperdalam ilmu pengetahuan melainkan juga merupakan wadah untuk menemukan dan membentuk sisi kemanusiaannya. Dengan kata lain, sekolah merupakan wadah bagi individu untuk menjadi manusia. Jadi, sangat mengherankan jika institusi ini justru menyaring individu yang akan masuk melalui tes keperawanan ini.
Bagaimana kalau setelah melayari dunia pendidikan justru sisi kemanusiaannya porak poranda. Banyak survey yang menyodorkan bukti bahwa justru ketika memasuki dunia pendidikan (terutama pendidikan menengah dan pendidikan tinggi), keperawanan dan keperjakaan ini buyar. Bahkan banyak yang karam ditengah jalan karena kehamilan. Saya pikir, disinilah dunia pendidikan berperan. Yaitu menjaga dan mengembalikan sisi kemanusian.
Kalau tak salah, menurut semua ajaran agama, bertobat dari perbuatan yang salah akan mengembalikan kemanusiaan kita. Saya harus setuju dengan hal ini. Dan ketika dia bertobat maka semua harus menerima karena berarti telah kembali ke kemanusiaannya yang dalam agama kami disebut kembali ke fitrah. Dunia pendidikan sangat berperan dalam membimbing individu di dalamnya untuk memasuki ruang pertobatan ini.
Wallahualam bishawab. (Anuar Syukur)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H