Saat upacara peringatan sumpah pemuda tempo hari, secara khusus saya harus mohon maaf dengan Pak Rektor. Ya, saya tidak menyimak apa yang blio sampaikan saat upacara. Pikiran saya malah sibuk kesana-kemari. Berikutnya, kostum yang saya kenakan saat upacara juga tidak sesuai dengan intruksi blio di surat pengumuman yang sudah dibroadcast sebelumnya. Kepada seluruh peserta upacara diminta untuk mengenakan pakaian adat. Baju yang saya kenakan baju koko yang biasa saya pakai untuk shalat plus memakai kopiah hitam.
Sesaat sebelum upacara dimulai, salah satu rekan saya bertanya, "Ini baju adat mana? Saya jawab "Baju adat sehari-hari." Rekan-rekan saya lainnya yang mendengar itu langsung tertawa.
Yang bertugas hari itu adalah para mahasiswa yang tergabung di Pramuka. Langkahnya mantab, tap-tep-tap-tep. Seluruh pasukan, siaaaaaaap grak! Suaranya lantang menggoyang langit, meskipun komandan upacaranya perempuan. Hingga detik-detik pengibaran bendera merah putih, saya masih konsentrasi memperhatikan langkah-perlangkah para petugas. Hingga kemudian pikiran saya melambung membayangkan Bung Karno yang masih sangat muda saat kongres pemuda diadakan. Bung Karno masih berumur 27 tahun, saya masih ingat betul pelajaran waktu MTs dulu, Bung Karno lahir pada tahun 1901.
Saya membayangkan bagaimana suasana kongres pemuda kala itu. Pikiran saya disesaki dengan pertanyaan. Apakah pada kongres itu ada agenda coffee break, ishoma dan lain-lain seperti lazimnya kongres-kongres yang kita jalani saat ini. Kalau ada acara ngopi berarti ada juga yang merokok. Terus merek rokoknya apa. Siapa yang membiayai konsumsinya, gula, kopi, kue-kue. Siapa pula yang betugas memasak air. Masaknya pakai kompor atau pakai kayu api. Apakah para 'jong' yang datang ke Jakarta untuk kongres juga diwajibkan pakai sepatu. Apakah undangannya juga disampaikan secara broadcast. Apakah ada acara jalan-jalan setelah kongres.Â
Masih buanyak lagi pertanyaan yang berputar-putar di kepala saya. Saya menghadirkan pertanyaan-pertanyaan sepele semacam itu tujuannya adalah supaya saya sebisa-bisanya merasa turut hadir pada perhelatan para 'jong' itu. Tidak sekadar menerbangkan imajinasi tetapi juga membawa serta emosi. Memang tidak mungkin untuk benar-benar merasakan persis suasananya. Setidaknya saya bisa membayangkan wajah-wajah tegang, dahi yang mengkilat karena keringat serta intonasi suara debat dan diskusi yang keluar dari para 'jong' itu.
Kalau dihitung-hitung, berarti kongres pemuda itu diadakan lebih kurang 17 tahun sebelum Bung Karno membacakan teks proklamasi kemerdekaan. Berarti cita-cita kemerdekaan sudah terpendam di hati sanubari para pemuda selama 17 tahun. Pada saat yang bersamaan saya juga membayangkan bagaimana jadinya jika para 'jong' itu tidak memiliki inisiasi untuk membuat komitmen Soempah Pemoeda. Boleh jadi Pak RT di komplek saya asalnya orang Leiden. Kepala sekolahny orang Den Haag. Camatnya asli Amsterdam.Â
Saya tidak ada masalah dengan individu-individu itu. Tapi yang jelas rakyat Indonesia masih dalam situasi terjajah. Dalam situasi seperti itu tentu saja kita tidak bisa seenaknya nongkrong di warung kopi haha hihi membahas politik, ekonomi nasional sampai membahas jumlah janda di satu kecamatan. Saya juga tidak bisa mancing sewaktu-waktu. Tidak ada acara ndangdutan, tidak ada acara kondangan dan acara-acara lain. Ah....pokoknya susahlah.
Untungnya para pemuda, para 'jong' itu tidak hanya bersumpah tetapi juga kemudian bergerak membuktikannya. Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Tepukan di pundak membuyarkan lamunan saya. Lho...ternyata komandan upacara sudah membubarkan barisan. Saya yakin, saya tidak tidur dengan posisi berdiri. Hanya saya tidak mendengar dengan jelas apa yang disampaikan Pak Rektor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H