Mohon tunggu...
Antyo Rentjoko
Antyo Rentjoko Mohon Tunggu... -

Antyo Rentjoko (Tyo), seorang blogger yang punya beberapa lahan, yang utama di blogombal.org. Salah satu pendiri dagdigdug.com. Hampir semua tulisan yang terserak sudah teragregasikan di antyo.rentjoko.net.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tiras Koran Dimakan Internet, tapi Masih Bisa Bertahan

28 Oktober 2009   20:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:30 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_19494" align="alignnone" width="360" caption="Yang muda baca online, yang tua baca cetak. (Foto: Blogombal)"][/caption] Berapakah dari Anda, para Kompasianer(s), yang masih membaca Kompas cetak? Terima kasih, ada yang tunjuk jari. Mungkin enam dari sepuluh. Lantas apakah ada yang ingat jumlah halaman Kompas cetak? Apakah semua halaman "terbaca" -- dalam arti skimming? Senin (26/10) lalu, Kompas terbit 44 halaman. Selasa (27/10) terbit 3642 halaman. Rabu (28/10) terbit 42 halaman. Kamis (29/10) ini? Belum lihat. Di versi e-paper belum ada. Saya tidak hapal, tapi bisa menyebutkan julah halaman karena melirik tumpukan Kompas cetak versi wadag (bukan e-paper). Dulu, pada era Soeharto, saya selalu ingat bahwa rata-rata koran terbit 12 halaman. Lebih dari itu (termasuk "bonus" pidato kepresidenan) harus seizin Dewan Pers dan Departemen Penerangan. Lantas kemarin ada kabar bahwa tiras koran cetak Amrik turun . Sebagai isu tidaklah baru.  Sebagai kabar, perkembangan terakhir April-September itu hanya menegaskan. Kabar ini akan terus berlanjut. Koran cetak mestinya tak tinggal diam. Begitulah, menurut Audit Circulation Bureau (ABC) Amerika yang dilansir Bloomberg, sirkulasi 379 koran turun 11 persen, menjadi 30,4 juta. USA Today malah melorot 17 persen menjadi 1,9 juta. Yang bagus adalah The Wall Street Journal. Oplahnya naik 0,6 persen -- karena dibantu layanan internet berbayar (tak hanya berita tetapi juga data). Media sosial dan informasi menurut warga Internet menjadi penyebab turunnya tiras cetak memang benar. Dengan catatan, itu untuk negeri yang reading habit-nya tinggi, kemakmurannya bagus, dan penetrasi internet sudah merata. Di Jakarta, harga koran pagi dibanting menjadi Rp 1.500 menjelang siang hari toh tak semua orang mau beli. Kini, ketika mobile internet hadir secara nyata, bukan sebagai datacard modem, melainkan handset yang bisa membaca dan mengirim konten, maka yang namanya media dan informasi sedang dirumuskan ulang. Apa sih yang disebut informasi dan kemudian berita? Media sosial dan jejaring sosial yang menjawab. Facebook dan Twitter (dan YouTube) memberi saluran. Sebelumnya blog menjadi sebuah penerbitan pribadi. Si blogger (eh, narablog) menjadi reporter, editor, dan sekaligus distributor bahkan manajer iklan. Mirip koran kecil di county zaman Lucky Luke. Ada juga sih, dulu (sampai awal 90-an) Harian Adil (versi lama) di Sala, yang dioperasikan oleh seorang pria sepuh. Hari ini dan esok mikroblog dan jejaring sosial mematangkannya. Informasi adalah apa yang memang dibutuhkan oleh setiap orang sesuai kepentingannya. Di dalamnya, setiap orang juga memproduksi informasi, kemudian orang lain yang melengkapinya. Akankah semua itu menjadi informasi "utuh" dan "lengkap" yang layak rujuk? Belum tentu. Kadang orang-orang hanya membutuhkan informasi sumir yang diperbarui terus-menerus. Misalnya begini... Saya mengeluhkan penipuan via SMS dari sebuah nomor, itu adalah informasi. Testimoni orang lain menjadi informasi tambahan. Orang lain itu bisa ratusan. Hasilnya? Bergantung apakah ada pihak yang akan meramu semua info itu, dengan pengujian fakta, penelusuran data, dan proyeksi. Bloggers biasa tidak mampu. Tetapi media yang terlembagakan, dengan etos dan standar kerja jurnalistik jempolan, akan mampu melakukannya. Peluang bagi koran (dan majalah) Lantas apa yang tersisa bagi koran dan majalah berita kalau tiras cetak merosot terus, dan pengiklan mulai mengubah ramuan media untuk beriklan? Koran masih akan bertahan, tapi dengan sejumlah syarat. Pertama: kecepatan berita. Hanya internet yang bisa melakukannya. Syukur jika selain cepat juga akurat -- emang susah sih. Menulis nama orang sesuai kartu nama yang bersangkutan itu kadang tak gampang. Pepih Nugraha atau Peppy Nugroho?  (Maaf...) :D Kedua: selain  cepat adalah -- nah, ini susahnya bahasa Indonesia yang boros karakter -- ringkas tapi bernas, sehingga nyaman dibaca di peranti genggam. Aplikasi Time.com di BlackBerry bisa menjadi contoh. Ingat, penetrasi ponsel ber-QWERTY, dengan layar melebihi ukuran tiga meterai, terus meningkat. Ketiga: terus menerus membangun reputasi bahwa dia bukan hanya cepat tetapi juga layak dipercaya dan mau dikoreksi. Ini memang berat. Konten boleh bagus, tapi kalau brand image belum kuat kadang isi disepelekan orang. Kekejaman internet adalah: hanya mengenal nomor satu. Kenapa? Ingatan orang terbatas. Keempat: kontennya siap untuk dipreteli agar dapat segera disebarkan oleh users. Iya sih, dengan catatan, si penyebar belum tentu paham keseluruhan masalah; bisa saja cuma tergoda euforia. Kelima: koran punya arsip lengkap yang dapat diakses publik karena ramah mesin pencari. Maksud saya bukan hanya panjang tetapi komprehensif. Berita macam itu mungkin tak langsung dikunyah pembaca segera setelah terunggahkan ke web, tetapi sebagai info latar berita macam itulah yang akan memperkaya bloggers dan relawan Wikipedia dalam menulis. Koran tetap menjadi pencatat sejarah. Sebuah peran mulia, makanya tidak bisa main-main. Ingat kasus kliping sebuah koran Amerika tentang jumlah korban pembunuhan di Indonesia 1965-66, yang terus dirujuk oleh banyak akademisi? (Maaf saya kehilangan tautan arsip, sehingga tak menyebut nama koran; kalau tak salah Kompas pernah memuat tulisan seorang indonesianist soal itu) Hohoho, lantas urusan duitnya bagaimana? Bukankah pekerja media, tak hanya jurnalisnya, perlu hidup layak? Model bisnis banyak koran sedang berbenah. Salah satu hasil pembenahan bisnis media ini adalah... Anda membaca tulisan ngawur saya ini di Kompasiana. Padahal saya dan Anda nggak dibayar, tak seperti kolumnis yang bisa ditelepon mendadak, kan? :D Catatan: Kiat lain untuk bertahan ada Mashable. Sumber ilustrasi: Blogombal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun