Sejak beberapa tahun terakhir, sejumput perasaan aneh muncul setiap kali aku memasuki pekarangan rumah ini. Pada warna cat yang dimiliki oleh dinding rumah ini, pada tanam-tanaman yang menghiasi pekarangan, juga pada sepasang kursi kayu yang diletakkan di teras rumah. Semuanya selalu membuatku merasa kembali ke masa lalu. Apalagi jika mengingat kebiasaan Tante Ros duduk di salah satu kursi teras tersebut sambil menikmati teh hangatnya di sore hari, seperti yang kulihat saat ini. Semuanya sungguh membuat hatiku miris.
Hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi kediaman Tante Ros dan Om Yusran. Jika saat masih sekolah dahulu aku masih bisa datang sesering mungkin ke rumah ini. Maka ketika memasuki bangku kuliah hingga bekerja seperti saat ini, kedatanganku ke rumah ini sangat bergantung pada waktu libur yang bisa kudapatkan. Ini mengingat saat ini aku bekerja di Jakarta yang tidak memungkinkanku untuk bisa sering pulang ke kota kelahiranku ini.
Namun sepertinya semuanya tak menjadi masalah bagi Tante Ros dan Om Yusran. Bagi mereka, asalkan aku menyempatkan diri menemui mereka dan membagi ceritaku, itu sudah cukup. Karena itulah kapanpun aku mengabarkan akan menginap di rumah mereka, sambutan hangat selalu mereka berikan padaku, layaknya menyambut kedatangan anak mereka sendiri.
Tentunya bukan tanpa alasan jika aku dengan beraninya menyebutkan bahwa aku sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Tante Ros dan Om Yusran. Belasan tahun lalu, saat Dian masih ada di rumah itu, tak terhitung berapa kali aku menginap di rumah Tante Ros. Ibuku sudah menganggap Dian seperti putrinya sendiri. Begitu juga Tante Ros dan Om Yusran terhadapku. Saking dekatnya aku dan Dian, teman-teman yang lain kadang menyebut kami sebagai saudara kembar yang terpisah. Dan seolah-olah semuanya memang sudah diatur, kami memiliki nama yang memiliki arti sama, Cahaya dan Dian.
Perlahan kudorong pintu pagar berwarna hijau kusam yang membatasi tubuhku dengan pekarangan rumah. Terdengar bunyi berderit saat pintu pagar itu bergerak. Tak ada reaksi dari Tante Ros. Seperti biasa ia begitu larut dalam dunianya. Â
"Assalamu'alaikum, Tante," sapaku pada Tante Ros saat tubuhku hanya berjarak satu meter dari tempatnya duduk.
Mendengar suaraku, Tante Ros sedikit tersentak dan mendongakkan kepalanya. Seuntai senyum kemudian hadir di wajahnya ketika melihat wajahku.
"Wa'alaikumsalam, Ya! Sudah lama? Maaf Tante keasyikan membaca," ucapnya sambil berdiri dan meletakkan majalah di tangannya. Segera kuraih tangan kanan Tante Ros dan mencium takzim punggung tangannya tersebut. Sebagai balasan, Tante Ros kemudian memberikan pelukan hangatnya untukku.
"Ayo masuk, Ya. Om juga sudah nunggu dari tadi," ujarnya lagi sambil merangkul bahuku. Aku tersenyum dan mengikuti langkahnya.
***