Mohon tunggu...
Haryanto Hadi Sumarto
Haryanto Hadi Sumarto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang pembelajar tinggal di Cedar Fall, Iowa, USA. Sedang belajar menulis dan mencoba peduli dengan sekitar (pendidikan, lingkungan, dan politik). Bisa dihubungi di email: anto_pujayo@yahoo.com http://haryanto-jogja.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yogyakarta Daerah Istimewa, Bukan Monarkhi, SBY!

9 Desember 2010   05:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:53 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggapan terhadap SBY, Demokrat, Gamawan Fauzi, dan JIP Fisipol UGM tentang Keistimewaan Yogyakarta

Saya tidak ingin membicarakan tentang Keistimewaan Yogyakarta secara ilmiah maupun sudut pandang sejarah, karena saya bukan ahlinya. Wong yang ngaku ahli pemerintahan saja (JIP Fisipol UGM) ternyata tidak memahami sejarah, apalagi kemauan orang Jogja. Saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya sebagai orang Jogja menanggapi komentar SBY, Gamawan Fauzi, orang-orang Demokrat, dan Purwo Santoso serta AA GN Ari Dwipayana dari JIP Fisipol UGM.

Tentang makna demokrasi, seperti yang kita pahami sebagai orang awam adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan kata lain pemegang kekuasaan ada di tangan rakyat. Rakyatlah subyeknya, bukan obyek. Dalam pelaksanaanya rakyat memberikan mandat kepada wakil-wakil rakyat, baik di legislatif (DPR) maupun eksekutif (pemerintah) dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian suara rakyat harus didengarkan, rakyat harus dilibatkan dalam penentuan suatu keputusan, baik itu dalam program pemerintah maupun penyusunan undang-undang. Berkaitan dengan RUUK Yogyakarta, mestinya pemerintah mendengarkan dan melibatkan rakyat dalam pembuatannya. Dan saya kira sudah jelas apa mau rakyat Jogja, yaitu sebagai salah satu keistimewaan Yogyakarta adalah penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur. SBY tidak sopan kepada rakyat Yogyakarta dan tidak sepantasnya memaksakan kehendaknya agar pengisian jabatan gubernur dilakukan dengan pemilihan langsung.

Dalam penentuan suatu keputusan, seperti yang kita pelajari dalam pelajaran PMP sewaktu SD dulu, urutannya adalah musyawarah mufakat atau bisa juga dengan aklamasi, baru kalau tidak bisa dengan pungutan suara (voting). Kalau rakyat Jogja sudah sepakat dan mufakat kalau gubernurnya adalah Sultan dengan cara penetapan, mengapa SBY memaksakan kehendak dengan pemelihan langsung yang merupakan cara pemungutan suara (voting). Apa maunya SBY?

Tentang makna monarkhi adalah ketika kekuasaan ada pada satu atau beberapa orang tanpa melibatkan rakyat. Mana di Yogkakarta yang ada monarkhinya, penetapan Sri Sultan HB adalah kehendak rakyat, bukan kehendak Sultan atau keraton. Sultan saja bilang silakan tanya apa kehendak rakyat Jogja. Justru SBY yang menjalankan kekuasaan secara monarkhi, karena memaksakan kehendaknya sendiri, sampai-sampai anggota DPR dari Demokrat dan Gamawan Fauzi sendika dawuh, tidak ada kata berbeda sedikitpun.

Tentang pemahaman terhadap konstistusi, UUD 1945 pasal 18 ayat (4) yang berbunyi, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis" ini bermakna umum. Sedangkan pasal 18B ayat (1) yang berbunyi, "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang" adalah bermakna khusus. Dengan kata lain pasal 18B merupakan pengecualian pengisian gubernur dari proses secara umum, yaitu dengan sistem pemilihan umum. Ini logika sederhana yang biasa dipakai oleh orang awam dan anak SD. Misalnya, pak guru mengumumkan bahwa besok Senin anak-anak wajib mengikuti upacara bendera Hari Guru. Pada pengumuman yang lain pak guru menyuruh anak-anak yang akan lomba pada hari yang sama untuk berkumpul di ruang kepala sekolah sebelum berangkat. Anak-anak SD sudah tahu kalau semua anak wajib mengikuti upacara kecuali yang akan lomba. Apakah logika SBY dan orang-orang Demokrat serta dosen-dosen JIP Fisipol UGM yang pintar-pintar kalah dengan anak SD? Atau ada maksud lain yang tersembunyi? Dan perlu dipahami seperti yang saya sampaikan di atas, penetapan pun demokratis.

Mengenai UU No 3/1950, merupakan pelaksanaan dari UUD 1945 pasal 18B yang menempatkan Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam secara langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur di DIY.

Mana yang tidak demokratis? Mana yang monarkhi? Mana yang inkonstitusional? SBY sendiri yang tidak demokratis, pemimpin yang monarkhi, dan tidak paham konstitusi!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun