Mohon tunggu...
Anton Wahyudi
Anton Wahyudi Mohon Tunggu... -

Senang berada di dunia Pendidikan. Sekarang sebagai Pengelola Yayasan Pendidikan An-Nawawi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudik dan Eksistensi

14 Agustus 2012   17:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:46 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“ Ma, tahun ini kita mudiknya naik apa yah ?” sergah seorang bocah kepada bundanya. “Hmm, tahun ini kita sedang banyak pengeluaran sayang. Smoga saja kita bisa pulang kampung. Kalau pun bisa, kita hanya bisa naik kreta ekonomi, nggak apa-apa kan sayang?.” Bunda shinta berusaha memberi alasan. Tak jauh dari tempat percakapan pertama terjadi, ya mungkin berjarak 5 km lah. Terlihat pasangan baru menikah sedang merencanakan kepulangannya ke kampung halaman. “ Pa, enaknya kita beri oleh-oleh apa yah ke ibu? Terserah mama deh, yang penting buat ibu senang dan tentunya oleh-olehnya nggak ada di kampung kita. Iya Pa, mama paham. Di sisi lain terdapat segerombolan mahasiswa asik nongkrong sambil ngopi. “ Put, pulang naik apa nih?” Dayat membuka percakapan. “Naik pesawat aja Yat, ada yang murah kok.” Mahfud mencoba memberikan pilihan. “Kalau ada yang gratisan, kamu mau nggak?” Dayat bertanya. “mau dong, emang ada yang gratis?” Mahfud balik bertanya. “Tenang, ada kok. Nanti biar aku yang dartarin. Kalau bulan Ramdhan apa lagi mau lebaran, orang-orang berlomba-lomba berbagi Fud, termasuk juga parpol. Tinggal pilih warna aja, mau biru, kuning atau merah?” Dayat mulai menjelaskan tawarannya. Ah, nggak peduli, yang penting bisa pulang dan gratis, hehehe.” Kata-kata ini yang disukai teman-teman Mahfud terhadap dirinya.

Inilah sekelumit topik yang berulang kali muncul sebelum lebaran tiba. Momen yang ditunggu oleh berjuta umat muslim di Indonesia terlebih bagi muslim yang merantau, yaitu mudik ke kampung halaman. Berbagai usaha dilakukan untuk mewujudkannya. Bagi yang berkecukupan dan mapan di tanah rantauan, mudik bukan jadi masalah besar. Namun ada sebagian yang boleh dikatakan belum mapan, tentunya akan sedikit jadi masalah. Tapi biasanya, mereka sudah menabung untuk mempersiapkan hal ini. Semua yang mereka lakukan itu mempunyai tujuan yang jelas dan mulia. Momen mudik ini merupakan kesempatan langka bagi para perantau untuk mencium kaki orang tua yang selama setahun mereka tinggalkan di kampong halaman. Terbayang dosa-dosa masa lalu ketika hidup bersama beliau. Sungkeman yang terbungkus dalam kata silaturrahim ini yang biasanya mendorong perantau untuk selalu mudik tiap tahunnya.

Mudik sama dengan silaturrahim. Identiknya begitu. Namun saya mengajak pembaca untuk memikirkan hal lain yang menjadi pendorong berjuta perantau untuk pulang kampung/mudik sehingga kita bisa mengambil hikmah lain darinya. Mengapa persoalan ini harus ditanyakan? Toh sama saja, ujung-ujungnya silaturrahim. Penulis tidak menafikannya karena memang begitu adanya.

Hemat penulis, ada hal lain yang mendorong fenomena mudik ini terulang dan terulang kembali yaitu eksistensi diri. Seorang anak mudik ke kampong halamannya untuk menemui keluarganya, hal ini merupakan pemberitahuan bahwa dirinya masih ada. Seorang ayah mudik untuk bertemu anaknya, hal ini menyatakan bahwa dia masih ada untuk anaknya. Eksistensi ini mereka perjuangkan dengan sekuat tenaga, bahkan jika harus sampai berhutang. Eksistensi itu penting bagi setiap orang.

Pentingnya eksistensi bagi setiap pribadi ini terbungkus dalam berbagai hal bergantung posisinya di dalam kehidupan. Bagi seorang murid, peringkat 1 adalah bukti eksistensinya. Pun bagi seorang suami, perhatian dan menerima perbedaan pemikiran istrinya merupakan wujud eksistensinya. Membahas masalah eksistensi ini dapat diruntut dari sekala yang kecil dari sebuah masyarakat sampai kepada pemimpin sebuah Negara. Wujud eksistensi dari seorang presiden adalah meratanya keadaan ekonomi dan pendidikan di negaranya, keadilan di wilayah hukum dll. Sedemikian besarnya perhatian seseorang terhadap eksistensinya memberikan isyarat bagi kita untuk senantiasa berhati-hati jika masuk ke wilayah ini. Jika tersenggol sedikit saja, maka akibatnya bisa fatal. Sebuah kalimat mungkin dapat menggambarkan pentingnya eksistensi: “Jangan pernah meremehkan seseorang karena terkadang orang yang kita remehkan adalah orang yang paling menghargai kita.” 130812 @aw_86

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun