TEPAT hari ini 31 Januari 2020 Nahdlatul Ulama berulang tahun ke 95. Menariknya, peringatan berdirinya organisasi massa Islam terbesar di Nusantara ini dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Bukan tanpa sebab. Kedekatan NU dan PDIP telah dimulai sejak berdirinya Republik ini. Soekarno sebagai ayah Ketua Umum PDIP Megawati telah bahu membahu dengan ulama-ulama NU seperti Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan Kiai Wahid Hasyim.
Ada satu cerita sejarah yang tidak banyak diketahui. Beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan, Bung Karno sowan ke Kiai Hasyim Asy’ari. Lalu beliau memberikan masukan, sebaiknya proklamasi dilakukan pada hari Jumat pada Ramadhan. Jumat itu Sayyidul Ayyam (penghulunya hari), sedangkan Ramadhan itu Sayyidus Syuhrur (penghulunya bulan). Hari itu tepat 9 Ramadhan 1364 H, bertepatan dengan 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Bahkan NU memberi gelar istimewa pada Soekarno sebagai Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah. Yang artinya pemimpin pemerintahan di masa darurat. Gelar itu membuat kebijakan-kebijakan Bung Karno, sebagai pemimpin pemerintahan di masa darurat, mengikat secara sah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Gelar tersebut disahkan dalam Muktamar NU Tahun 1954 di Surabaya.
Tidak hanya di masa lalu. Kedekatan warga Nahdliyin dan kaum nasionalis terus terpelihara hingga 75 tahun Indonesia merdeka. Persaudaraan dan sikap saling mendukung ini terus berkelindan. Hingga menjadikan keduanya karakter pemersatu bangsa melawan segala macam ideologi yang mencoba merongrong Pancasila dan keutuhan NKRI.
Megawati sendiri dalam peringatan harlah NU secara virtual itu juga berpesan agar seluruh kader PDIP meneruskan apa yang sudah dibangun oleh Soekarno dan tokoh besar NU di masa lalu.
"Kedekatan Bung Karno dengan kiai dan warga Nahdliyin akan saya teruskan dalam tindakan dan telah saya amanahkan kepada seluruh kaum nasionalis, juga para kader dan simpatisan PDI-P," kata Megawati.

Artinya, Megawati ingin para kadernya, di semua level agar terus membangun kedekatan dengan warga Nahdliyin. Tidak hanya sekadar bersilaturahmi dalam event resmi, tapi juga berkomunikasi secara intens untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa.
Namun persoalannya, sebaris kalimat dari Megawati yang sepertinya mudah ini sangat sulit diwujudkan oleh para pemimpin di negeri ini. Contoh saja, tidak banyak kepala daerah (baik dari PDIP maupun partai lain) yang mampu menjalin komunikasi yang baik dengan para kyai. Jangankan sowan untuk silaturahmi atau ngaji ke pondok, diundang haul atau acara resmi saja banyak yang hanya mewakilkan. Mereka hanya datang ketika menjelang pemilihan kepala daerah saja. Alias, muncul ketika ada pamrihnya.
Nah, salah satu pemimpin yang bisa mengejawantahkan perintah Megawati sekaligus meneruskan titah Soekarno adalah Ganjar Pranowo. Satu hal yang tidak bisa disangkal adalah bagaimana Gubernur Jateng ini menggelar Jateng Bershalawat hampir setiap bulan. Ia mengundang kyai dan habib seperti Habib Syech, Habib Lutfi bin Yahya, Gus Muwafiq, Gus Miftah, atau KH Munif Zuhri untuk bergantian mengisi pengajian. Puluhan ribu jamaah memadati acara yang dilaksanakan berpindah-pindah tempat keliling Jawa Tengah.