Mohon tunggu...
Anton Ryadie
Anton Ryadie Mohon Tunggu... -

Penggiat media online. Penyuka kopi, budaya dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mendorong Heterogenitas Seni Rupa

20 Juli 2016   13:10 Diperbarui: 22 Juli 2016   15:46 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber Foto: Pixabay

Seni modern, dalam bahasa filosofi, mewujudkan kebenaran yang dilupakan. Mungkin itulah yang membuat para seniman terkungkung dalam citra romantik; citra sebagai pencari esensi kenyataan. Dalam perkembangannya, para kritikus, akademi seni, museum, pusat kesenian dan pasar seni di jaman ini pun mengamini hal tersebut.

Sejarah Eropa pun mencatat, kaum borjuasi – yakni kaum yang memperjuangkan ekonomi pasar, industrialisasi dan demokrasi perwakilan - juga tumbuh mengiringi seni modern. Seni modern menyokong mereka menghayati danmempraktekkan kebebasan individual. Dalam perkembangannya, pengaruh borjuasi pun meluas dan menguat, menjadi kapitalisme, dan tersebar ke seluruh dunia.

Lalu, bagaimana di Indonesia? Bisa dikatakan, kapitalisme yang marak di Indonesia tentu saja bukan kapitalisme yang tumbuh dari sejarahdan etos borjuasi. Namun tak dapat dipungkiri, kapitalisme cukup punya jasa dalam perkembangan kesenian di negeri ini. Lihat saja, bagaimana bursa lukisan –terutama yang bergaya dekoratif – diburu oleh orang-orang yang diuntungkan oleh ekonomi kita, walau membeli lukisan tidaklah berarti mendukung eksistensi seni rupa secara menyeluruh, apalagi dalam jangka panjang.

Gejala-gejala tersebut sesungguhnya telah menciptakan kegelisahan di kalangan para perupa Indonesia. Di satu sisi, praktek bursa seni rupa yang seperti itu dianggap menodai kesucian seni rupa. Namun di sisi lain, justru malah dirayakan sebagai pengikis elitisme dan kemapanan yang dipelihara oleh sejarah seni rupa kita. Dalam bahasa yang lebih sederhana bisa dikatakan kekuatan pasar mejadi pendorong heterogenitas.

Para kritikus seni seperti Sanento Yuliman, Jim Supangkatdan Ariel Heryanto pun memperjuangkan hal tersebut. Tak pelak, gempuran pun terjadi bagi kriteria hirarki dan universal yang merajai kesenian Indonesia. Gugatan para kritikus itu lebih merupakan dekonstruksi terhadap sejarah kesenian kita yang dihantui oleh modernisme Barat. 

Namun begitu, bukan berarti pula para kritikus bersekutu dengan pasar. Heterogenitas yang mereka gaungkan hanya dalam upaya mendudukkan kesenian sebagai gejala kemasyarakatan. Upaya mereka mendorong kesadaran kita bahwa posisi romantik seniman hanyalan mitos dan mereka dapat membukakan penerimaan yang lebih sehat terhadap pergolakan di dunia internasional, yakni pergolakan yang ternyata tak terpisahkan dari sepak terjang kapitalisme mutakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun