Mohon tunggu...
Anton Ryadie
Anton Ryadie Mohon Tunggu... -

Penggiat media online. Penyuka kopi, budaya dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stasiun Tanjung Priok, Contoh Restorasi Peduli Sejarah dan Fungsi

14 September 2016   13:05 Diperbarui: 14 September 2016   13:28 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Wikipedia Indonesia

Sebagai wilayah yang pernah mengalami era kolonialisme, Indonesia, khususnya Jakarta, memiliki banyak bangunan dengan gaya khas Eropa. Bangunan-bangunan cantik tersebut sesungguhnya adalah aset bagi arsitektur kota dan data-data sejarah. Sayangnya, dari sekian banyak bangunan, hanya segelintir yang mendapat perhatian serius. Banyak dari bangunan-bangunan itu, yang jika tak digusur untuk dirombak menjadi bangunan modern, hanya dibiarkan terbengkalai, lusuh, kusam, bak rumah hantu. Andaikan dilakukan restorasi atau pemugaran, banyak yang kondisinya sudah terlambat. Atau, renovasi tersebut malah menjauhkannya dari atmosfir “tempo doloe”.

Salah satu yang sejak lama menarik perhatian dalam konteks ini adalah adalah Stasiun Tanjung Priok. Dioperasikan kembali sebagai stasiun kereta penumpang pada 2015, stasiun indah bergaya art deco ini punya sejarah panjang, dan menjadi bagian penting dalam perjalanan arsitektur Ibukota. Stasiun ini pun bisa menjadi contoh restorasi yang walau terlambat, masih bisa diapresiasi langkahnya, karena tetap mengedepankan sejarah dan fungsinya.

Sejarah mencatat, di masa jayanya stasiun ini menjadi kesatuan penting dengan Pelabuhan Tanjung Priok dalam mekanisme perekonomian Batavia. Pelabuhan Sunda Kelapa yang pada abad ke 19 dirasakan tak lagi bias menampung aktivitas perekonomian, menjadi alasan pemerintah Hindia Belanda membangun Pelabuhan Tanjung Priok, sebagai pelabuhan kebanggaan mereka. Dari fakta tersebut, bisa disimpulkan bahwa Stasiun Tanjung Priok pun memiliki peran yang amat penting di masa itu. 

Secara fungsi, Stasiun Tanjung Priok memang dibangun sebagai jalur penghubung antara Pelabuhan Tanjung Priok di utara dengan Batavia di selatan. Berdasarkan data, stasiun ini awalnya dibangun pada tahun 1885. Kemudian diperbesar berdasarkan ide kreatif Ir. C. W. Koch, pada masa Gubernur Jendral A.F.W.Idenburg (1909-1916), tahun 1914. Tak tanggung-tanggung, diperlukan sekitar 1.700 tenaga kerja, dengan 130 di antaranya adalah pekerja berbangsa Eropa, untuk merampungkan proyek yang memakai lahan seluas 46.930 m2, dengan luas bangunan 3768 m2 ini.

Tak heran, sejak awal dirampungkannya pun stasiun ini menuai kontroversi. Isu pemborosan menjadi dasarnya. Stasiun ini diangap terlalu besar,– bahkan hampir menyaingi Stasiun Jakarta Kota (Beos) – padahal saat itu hanya digunakan untuk kereta rel listrik yang mulai dioperasikan di Batavia pada1925.

Selepas masa kolonialisme, seperti kebanyakan nasib bangunan peninggalan Belanda, Stasiun Tanjung Priok pun pernah mengalami masa-masa lusuh. Bangunan yang penuh citarasa artistik,dengan perpaduan gaya neo klasik dengan kontemporer, itu makin tak terawat seiring perkembangan jaman. Keadaan memprihatinkan makin terasa di awal tahun 2000, ketika stasiun ini tak lagi difungsikan sebagai stasiun penumpang. 

Untungnya, kesadaran akan pentingnya aset sejarah muncul kembali. Pada 2009, Stasiun Tanjung Priok difungsikan lagi sebagai stasiun penumpang. Restorasi ini pun melewati tahapan panjang. Dan yang melegakan, renovasinya tak membuat stasiun ini kehilangan rohnya. Gaya arsitektur stasiun saat ini masih sama, seperti ketika dulu diresmikan pada tahun 1925. Kini, stasiun yang pernah jaya, lalu muram karena “ditinggakan”, seperti kembali menemukan jatidirinya.Tak hanya sebagai infrastruktur sarana transportasi, stasiun ini pun menjadi objek wisata yang menarik.

Ke depan, restorasi ala Stasiun Tanjung Priok inilah yang kita perlukan. Memelihara yang dulu indah menjadi tetap indah tanpa kehilangan auranya. Mungkin memang terlambat. Tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Masih banyak bangunan bersejarah di Ibukota – bahkan di kota lain - yang memerlukan “sentuhan” serupa Stasiun Tanjung Priok. Bukan tidak mungkin, bila kesadaran restorasi seperti ini terus berlangsung, kota-kota di Indonesia akan menjadi kota dengan arsitektur yang kaya dan padat data sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun