TRADISI adalah suatu perilaku yang lazim orang lakukan dalam sebuah tatanan masyarakat tertentu secara turun menurun. Hal ini dilakukan semata-mata karena sifat dari tradisi adalah kontinuitas, dilakukan terus menerus sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulu mereka. Namun, terkadang hanya sedikit sekali orang yang berani tampil untuk menggugat keabsahan akan suatu nilai dari sebuah tradisi. Sejarah atau pengalaman, setidaknya membuktikan dan menorehkan tinta buram bahwa seseorang atau sekelompok individu tertentu yang mencoba menggugat akan nilai dari sebuah tradisi malah imbasnya akan dikucilkan, ditentang, diperangi atau lebih parahnya lagi harus mengakhiri masa hidupnya di tiang gantungan. Sebutlah nama-nama seperti Socrates yang harus (dipaksa) meminum racun akar cemara, Galileo yang harus meregang hayat di tiang gantungan atau juga bahkan baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang harus rela dikejar-kejar kaumnya untuk dibunuh. Hal tersebut harus menimpa mereka, lagi-lagi karena mereka menggugat adat atau tradisi yang sudah mapan di kalangan suatu kaum atau tatanan masyarakat tertentu. Para tokoh-tokoh diatas mencoba menentang atau mengganti suatu mainstream yang dirasa tidak benar menuju suatu pencerahan. Eksistensi suatu tradisi memang tidak bisa dianggap remeh. Meskipun kadang terasa tidak masuk akal, bahkan menyimpang dari tatanan kemanusiaan yang hakiki, kita bisa dengan mudahnya menjustifikasi bahwa ‘hal’ itu benar dan tidak perlu dipermasalahkan. Di lain sisi, Indonesia yang terdiri dari ratusan pulau, ribuan suku dan jutaan manusia, pastinya memiliki banyak variasi tradisi satu sama lainnya. Ambilah satu tradisi yang berkembang diantara beberapa etnis sunda. Mereka lazim menggunakan istilah ‘pamali’ untuk seseorang yang bertindak tidak sesuai dengan adat atau tradisi yang berkembang diantara mereka. Seperti contohnya, ‘Jangan berdiri di depan pintu, nanti jodohnya jauh’. Lain sunda, lain lagi penduduk Jawa. Diantara mereka masih saja ada yang menggengam erat akan kebenaran ‘primbon’. Lalu, pertanyaan dasar yang muncul adalah; “Mengapa Di zaman yang kini jarak, waktu dan tempat sudah lagi tidak merupakan suatu halangan dalam berkomunikasi, masih saja ada orang yang begitu menggengam suatu tradisi yang bertentangan secara nalar dan logika? Lalu dimanakah peran nalar manusia dalam menjustifikasi bahwa tradisi ‘ini’ dapat dikategorikan suatu kebenaran? Hal itu dapat dijawab sebagaimana yang digambarkan oleh seorang filusuf Denmark, Soren Kierkegaard perihal manusia yang selalu mengekor terhadap apa yang diikuti oleh manusia kebanyakan tanpa meninjau kembali apa ‘esesnsi’ dari perbuatannya tersebut. Apabila ia ditanya, mengapa melakukan ‘hal’ tersebut, dengan mudahnya mungkin ia akan menjawab, “Ini saya lakukan, karena semata-mata orang-orang pun melakukannya demikian”. Manusia seperti ini dikategorikan oleh Kierkegaard sebagai ‘manusia massa’, atau dalam istilah Heidegger, ia menyebutnya dengan sikap Verfallenheit (keterpurukan sebuah eksistensi manusia) dimana situasi ini dapat diekuasikan dengan hilangnya nilai nalar yang digantikan dengan kesadaran yang bersifat kolektif yang terkadang menggekang kebebasan berfikir kritis yang sifatnya individu. Lihatlah sekeliling kita saat ini. Entah berapa banyak tradisi yang berkembang dikalangan para petinggi, yang notabene mereka menggengam manis buahnya pendidikan tinggi, malah sikap yang ditunjukan seolah bertentangan dengan latar belakang pendidikan mereka masing-masing. Ambilah contoh, para hakim yang rela ‘melacurkan’ tegaknya keadilan, mau-maunya melego keputusan hanya dengan gepokan lembar uang US dolar, misalnya. Atau juga para aparat lalu lintas yang kini menjelma menjadi ‘hantu disiang bolong’ bagi para supir dan knek angkutan kota serta para pengendara. Atau juga para pejabat pemegang kebijakan yang dengan ‘ikhlas’-nya membarter undang-undang yang tidak berfihak pada rakyat dengan undang-undang yang menguntungkan sebagian kelompok atau golongan tertentu misalnya. Hal ini seolah-olah memperkuat thesis bahwa secara tidak sadar kini bangsa kita mempunyai tradisi atau budaya baru dalam kehidupan sehari-hari. Suap-menyuap bukanlah barang baru dalam masyarakat pasca reformasi ini. Sebuah kriminal yang ‘manis’, yang ganjarannya (mungkin) juga terasa manis bagi para pelakunya. Pernah pula saya terbengong-bengong ketika berada di Samsat, ketika sedang memproses SIM C, sementara saya menunggu dengan ‘terpaksa’ sabar selama lebih dari lima jam, seketika itu ada orang yang jikalau saya prediksi kedatanganya kurang dari satu jam, malah dengan senyum kemenangan melenggang menggengam SIM-nya yang sudah jadi. Karena penasaran, saya pun bertanya mengapa kok dia bisa secepat itu. Yang ditanya bukannya menjelaskan dengan penjelasan yang memuaskan, malah bilang saya ini kelewat lugu. Dengan santainya, sang bapak itu berkata singkat pada saya (bunyinya mirip dengan semboyan salah satu iklan biskut): “Biasalah… sudah tradisi….”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H