[caption id="attachment_211844" align="alignleft" width="150" caption="http://202.146.225.124/data/a"][/caption] Hari ini, seperti biasa aku narik seharian. Rupanya, penumpang lagi penuh hari ini. Sopirku tentu saja tak begitu saja menyianyiakan kesempatan emas ini. Sangat jarang hal ini terjadi. Gepokan berlembar-lembar rupiah pun tak urung aku genggam di telapak tangan sebelah kiri. Seharian penuh kami (aku dan sopirku) belum istirahat barang sejenak. Dimana ada penumpang, langsung saja ia tancap gas. Tak peduli sumpah serapah sopir lain yang merasa penumpangnya kami serobot. Ini hidup bung, barang siapa yang tak menjemput bola, jangan harap bisa mencetak gol. Seloroh sopirku suatu kali menasehatiku. Ia memang gila bola, maka kata filosofisnya pun tak jauh dari benda bulat itu. Seperti ia pernah berkata, hidup itu laksana permainan bola, terkadang kita begitu menjadi sangat yakin akan kemenangan suatu tim sepak bola. Tapi kenyataannya hasil yang kita harapkan meleset jauh dari yang kita inginkan. Ingat, bola itu bundar. Tak bersudut. Maka siapapun bisa berada di atasnya juga tak jarang malah di bawahnya. Saat ini kita berada di lapisan terbawah dari permukaan kulit bundar itu. Tapi siapa sangka esok hari kita yang akan berdiri mengangkang diatasnya. Katanya lagi. Sungguh nasehat bijak bermuatan filosofis yang dalam. Walau di sampaikan dengan bahasa yang lugas dan naïf.
Karena narik seharian, karuan saja, badan ini di terpa dengan badai lelah yang amat sangat. Entah bagaimana rupa wajahku kini, setelah di hantam debu seharian penuh. Tetapi, sekali lagi, yang membuat aku bertahan hingga detik ini, juga tak urung karena sebuah harapan akan datangnya sore hari, tatkala mesin diesel ini merapatkan tepiannya di terminal Lebak Bulus. Dan bila saat itu tiba, dengan langkah seribu aku pasti akan menuju persemayaman sang bidadariku berada sekedar untuk memesan kopi hangat atau bersandar di pelataran ia punya warung. Asalkan bisa melihat paras ayu wajahnya, itu cukup.
***
“Bu, pesan Kopi hitam satu sama rokoknya sebungkus ya!” Seruku mantap bak saudagar baru pulang dari niaganya.
“Rokoknya apa ‘den?” Tanya ibu warung sambil tangannya sesekali terlihat sibuk memutar-mutar gorengan di pancinya.
“Yang biasa saja bu!” Balasku.
“Yo wis, tapi sebentar dulu ya, ibu lagi repot nih.” Serunya.
“Tenang saja lah bu, santai saja.”
Langsung saja pandangan mata ini aku tebar ke seisi ruangan yang tidak terlalu lebar. Apalagi kalau bukan sekedar untuk mencari kemana gerangan bidadariku berpijak. Terlihat beberapa sopir sedang menyandarkan bahu-bahu mereka di sudut-sudut ruangan. Tak lupa kepulan asap rokok yang memenuhi hampir sepertiga ruangan mengaburkan sedikit pandanganku. Beberapa pengamen pun terlihat sedang merayu para pengunjung warung ini dengan menjual suaranya yang sama sekali tidak memperhatikan pitch control-nya berantakan kesana kemari. Sedikit geli juga aku melihatnya. Sang pengamen itu tetap saja cuek melantunkan tembangnya di depan orang yang sedang makan, walaupun orang yang dituju sudah menampilkan wajah yang kurang bersahabat. Yah, biarlah, pengamen tetap pengamen, bagaimanapun mereka juga anak-anak bangsa yang berusaha menyambung hidupnya dengan seperangkat gitar tua dan suara yang pas-pasan. Yang penting itu kan halal, batinku sok bijak dalam hati.
Tapi ngomong-ngomong kemana si-Narsih? Apa sedang mengantar pesanan makanan? Atau barang kali sedang cuci piring di belakang? Atau juga sedang belanja sayur-sayuran di pasar? Baiklah, sampai kapan pun akan aku tunggu. Hari ini hanya milikmu, Narsih.
Kopi yang kupesan tadi sudah mulai mendingin. Begitu juga dengan sebungkus rokok di depan mataku. Habis berbatang-batang, tuan belum datang. Terbesit sebait lagu Iwan Fals menggambarkan suasana hatiku kini. Pengunjung warung ini pun sudah silih berganti peran. Para sopir-sopir bus yang tadi menyandarkan bahunya di warung ini pun sudah mulai berangkat lagi ‘menjemput bola’-nya masing-masing.
Aku pun mulai tidak sabar, hendak menuju ibu warung untuk membayar pesananku sekaligus menanyakan perihal keberadaan dimana bidadariku. Memang hari ini belum lengkap benar rasanya tanpa melihat segurat senyum di wajahnya. Tapi siapa aku ini? berani-beraninya menanyakan dimana Narsih? Jangan-jangan nanti ibu warung akan memandang aku sama dengan para sopir-sopir ‘jahanam’ itu yang kerap menggodanya setiap hari? Ah, lebih baik aku urungkan niatku saja. Aku akan sabar menunggu. Yah barang beberapa menit lagi.
Tapi rupanya hati ini dibuat gundah karenanya. Jarum jam terasa lama sekali berdetak. Aku benar-benar sudah tak bisa menahannya. Harus sekarang, harus.
“Bu, berapa semuanya?” Tanyaku
“Rokok sama Kopi, jadi dua belas ribu ‘mas.”
Aku keluarkan segenggam kertas lusuh hasil narik hari ini. Sengan sedikit hati-hati aku bertanya, “Mmm… Bu, Si-Narsih kemana ya? Kok dari tadi nggak kelihatan?”
“Ah, si mas ini, memang sama saja seperti yang lainnya, sudah beberapa sopir hari ini yang ditanya hanya Narsih-Narsih melulu!” Begini den, tadi pagi kawan suaminya menjemput kesini. Katanya tak baik bergaul dengan para sopir-sopir terminal yang suka menggodanya. Rawan katanya. Kawan suaminya menawarkan pekerjaan yang lebih menjanjikan ‘den.” Terang ibu itu.
Sebenarnya sedikit tersinggung aku mendengarnya, biarpun terlihat agak kasar kami ini para sopir sebenarnya tidak sepenuhnya apa yang dibayangkan orang ‘suci’ kawan suaminya itu. “Lalu apa pekerjaan yang lebih menjanjikan itu bu?” tanyaku berdebar-debar setengah putus asa.
“Itu, bekerja di salon-salon bonafit katanya. Sekalian melayani jasa pijat. Lumayan loh ‘den. Katanya sih penghasilannya bisa tiga kali lipat dari sekedar bekerja di warung ini.” kata ibu itu polos.
“Di Salon? Jasa pijat?” Teriakku menyita perhatian seluruh penghuni warung itu. Satu lagi gadis cantik terkena korban iming-iming ‘busuk’ calo penyalur jasa pekerjaan.
***
(Tamat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H