Mohon tunggu...
Anton Rumandi
Anton Rumandi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hubungan Masyarakat UPN Veteran Yogyakarta

Tetap Semangat dan Sukses Selalu!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duka dalam Hujan

13 April 2022   11:55 Diperbarui: 16 April 2022   00:34 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara petir saling berbalas menggetarkan dinding rumah yang semakin terasa. Di balik jendela kamar, titik - titik air jatuh membasahi halaman yang tadi siang digunakan Dito untuk bermain bersama teman - temannya. Malam ini udara terasa sangat dingin sehingga membuat dito membalut badannya dengan dua selimut. Hujan tak kunjung reda malah semakin deras menabrak atap rumah. "Kring - kring!" suara pesan whatsap dari teman Dito berbunyi. Ia bergegas mengambil hpnya yang ada di atas meja. Setelah membuka hp, ternyata temannya mengajak Dito main untuk ngegame seperti biasanya. Akan tetapi, ia langsung menolaknya, bukan saja karena hujan, namun entah mengapa malam ini Dito ingin menghabiskan waktu di rumah. Kemudian Dito mematikan hpnya agar tidak ada yang bisa menghubungi dan kembali naik ke ranjang tempat tidurnya dengan menarik selimut.

Waktu semakin berlalu, malam ini Dito sulit sekali untuk tidur. Setelah hampir sejam mencoba menutup mata, sambil memandangi lampu secara spontanitas tiba - tiba air mata Dito keluar dengan sendirinya. Pada situasi dan kondisi hujan seperti inilah yang mengingatkannya pada kenangan pahit di masa lalu. Tepat setahun yang lalu, kembaran Dito yang sangat disayanginya meninggal dunia. Adiknya tersebut menghembuskan nyawa secara dadakan akibat demam tinggi dan belum sempat di bawa ke rumah sakit. Sampai sekarang Dito masih sangat menyesal dan merasa bersalah atas kepergian adiknya tersebut. Kendaraan yang ingin digunakan adiknya untuk berobat ke rumah sakit, malah ia pakai untuk pergi main. Pada saat itu, Dito pulang terlambat karena hujan deras dan terpaksa berteduh untuk waktu yang cukup lama. Sesampainya di rumah betapa kagetnya ia melihat bendera kuning tertancap di depan rumahnya. Sontak hatinya seperti tersayat - sayat ketika mengetahui bahwa kembarannya tersebut mennggal dunia. Dito tidak bisa menutupi kesedihannya, ayah dan ibunya sudah berusaha menenangkannya dan menasihati Dito untuk mengikhlaskan kepergian adiknya tersebut agar adiknya bisa pergi dengan tenang. "Sudah Nak, kamu gak salah semua ini udah ada yang ngatur mungkin tuhan lebih sayang adik." Ucap ibu Dito sambil mecoba menegarkan diri. Padahal ia juga sangat terpukul atas kepergian anaknya tersebut, namun mencoba terlihat kuat di depan Dito.

Karena waktu yang sudah kemalaman dan hujan yang masih sangat deras, atas keputusan keluarga dan tokoh masyarakat prosesi pemakaman akan dilaksanakan keesokan harinya. Malam itu dimanfaatkan Dito untuk curhat di samping adiknya yang sudah tak bernyawa. "Maafin kakak Dik, semua ini salah kakak tolong maafin kakak"! sambil menangis sesengukkan dan suara yang sudah mulai pelan, Dito mencoba terus meminta maaf kepada adiknya tersebut. Rasa lapar sudah tidak dirasakan  yang ada di benak Dito hanyalah rasa bersalah yang terus menyiksanya. Jam dinding tepat menunjukkan pukul 2 pagi, rasa bersalah ditto masih saja belum surut. Orang tua, keluarga, dan orang - orang di sekitar Dito berusaha terus mengingatkan untuk mengikhlaskan kembarannya tersebut. Kelelahan semakin terlihat di dalam diri Dito, tanpa disadari akhirnya ia tertidur di samping jasad adiknya tersebut.

"Tok tok tok"! suara seseorang mengetuk pintu kamar Dito. Sontak ia terbangun dari tidurnya dan bergegas membuka pintu kamarnya. Setelah pintunya terbuka tanpa basa - basi Dito langsung memeluk orang yang ada di balik pintu tersebut. Ternyata orang yang mengetuk pintu kamarnya adalah ayahnya sendiri yang mengajak Dito untuk makan malam bersama. Ayah Dito kaget mengapa anaknya bertindak seperti itu. Dito menjelaskan semuanya dan berusaha meluapkan semua emosi dipelukan ayahnya tersebut. Setelah mendengar perasaan anak semata wayangnya tersebut, ayah Dito mencoba memahami perasaan Dito dan berusaha menenangkannya. Setelah situasi sudah mulai tenang, ayah Dito kembali mengajak Dito untuk makan malam bersama karena ibunya sudah memasak sayur lodeh kesukaan Dito sedari kecil.

Di atas meja makan, keluarga kecil ini memanfaatkannya untuk mengobrol santai. Sambil menyinggung si bungsu yang sudah pergi, akhirnya mereka memutuskan untuk berziarah ke makam keesokan harinya. Karena sudah hampir 3 minggu  tidak berziarah, mungkin inilah yang membuat perasaan Dito menjadi tidak tenang sepekan ini. Dengan adanya ikatan batin yang begitu kuat karena mereka berdua kembar, kedatangan Dito ke makam adiknya membuat perasaan Dito menjadi lebih tenang dan rasa bersalah yang ia rasakan akhir - akhir ini mulai luntur berbarengan dengan doa -doa yang ia panjatkan kepada adiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun