Saya kira popularitas seorang tokoh Sosiologi yang bernama Marx Weber sudah tidak asing lagi di kalangan pembaca atau peminat bacaan sosial. Dan menurut saya, untuk memahami fenomena Gibran dan sang "outsider" cukup jelas benderang melalui perspektif Marx Weber, setidaknya rumusan beliau tentang masyarakat dapat menyaring banyak hal dari kesimpang-siuran visi tradisional yang masih gemar berkutat pada perspektif psikologisme untuk fenomena kemasyarakatan. Lalu apa sih formula si Weber itu terkait masyarakat?Â
Penulis hanya ingat intisari pesan Marx Weber saat masih duduk di bangku fisipol awal '80-an, yakni:"Jangan pernah sekali pun memadankan fenomena sosial dalam konstruk masyarakat seperti kita memandang kepribadian dalam sosok manusia. Dalam dinamika kemasyarakatan tidak berlaku apa yang selalu kita harapkan sebagai tindakan dari semacam 'kepribadian kolektif'.Â
Jadi, sebelum mewacanakan fenomena masyarakat versi Weber, kita terlebih dahulu diminta untuk menanggalkan visi tradisional tentang "penumpukan" pemahaman individu (berdasarkan kesamaan pandangan perorangan), yang karena mayoritas dan mendominasi, lalu berubah jadi pandangan kelompok dan mendominasi lagi hingga berstatus sebagai pandangan masyarakat secara keseluruhan.Â
Mengapa kita harus pandangan logis seperti itu? Karena, yang menentukan bukan jumlah kesamaan pandangan di dalam masyarakat, melainkan dominasi dari tindakan perorangan yang muncul dari beragam faktor seperti kepentingan, inspirasi baru yang muncul dari visi dinamisme perubahan dalam diri si tokoh penindak, dan sebagainya.Â
Karenanya, dalam buku beliau tentang etika Protestan (maaf judulnya lupa, sudah lama sih), visi etika Protestan itu muncul manakala cara pandang baru si tokoh utama penindak mulai berdampak pada cara pandang atau visi "manusia relijius" tradisional melalui tindakan sosialnya, tindakan sosial si tokoh itu-lah yang menggarami visi baru masyarakatnya tentang nilai pasar dan lain-lain, orang lain di dekatnya mulai meniru atau menafsirkan dan baru terbentuk tumpukan peniruan atau penafsiran baru; bukan berawal dari penumpukan kesamaan pandangan yang berbenturan dengan penumpukan kesamaan pandangan lain, karena bila yang terakhir ini tetap diyakini, maka mustahil terjadi perubahan masyarakat secara cepat karena harus menunggu untuk menumpuk kesamaan pandangan yang akan dikompetisikan dalam adu dominasi; kapan berubahnya?
Bila sudah memahami sangkalan Marx Weber pada pendapat jadul para pendahulunya, yang masih dalam ranah ilmu sosiologi alih-alih politik, maka persoalan Gibran dan "the  outsider"-nya itu (di masa puncak krisis seperti sekarang ini), seharusnya bukan hal yang perlu diperbesar apalagi dijadikan bahan umbaran politisasi.Â
Justru partai banteng ingin mendidik anda untuk segera menanggalkan konsep jadul dan bersiaplah menghadapi hujan badai perubahan, partai 'terpaksa' (berat hati tentunya) harus melepas 'the outsider' (penulis merasa kurang hormat bila harus menyebut nama beliau) karena alasan atau tuntutan nilai-nilai baru kekinian yang lebih berpihak pada faktor kemudaan dalam semangat dan visi serta pikir.Â
Bisa jadi si "the outsider" itu berprestasi (karena cerdas) dan tekun serta jujur dalam bekerja, tapi jaman milenial menuntut aspek atau visi yang berbeda yakni penonjolan daya kreativitas dan dinamika kerja.Â
Aspek baru itu ada pada sosok Gibran yang telah membuktikan visi kreatif dan dinamisme-nya dalam kancah bisnis swasta (cari sendiri ya bahan bacaan tentang riwayat prestasi dan kancah tempurnya si Gibran muda ini); dan lebih gila lagi, partai sedang sangat amat membutuhkan sosok seperti itu, sosok yang dapat bertindak sebagai tokoh kunci penindak perubahan sosial.Â
Inilah dilematikanya, dan memang untuk dapat melihat dari perpektif ini kita harus sedikit mencermati buku sejarah tentang perubahan (bukan sejarah tentang keajegan atau monotonisasi). Kita tidak perlu dramatisasi politik untuk menjelaskan masalah ini, cukup dari pencermatan pada teori ilmu sosial.
Memang, budaya nilai keharmonisan kita-lah sebagai satu-satunya cadas kapur penghambat gerak ke arah perubahan perspektif. Ibu Mega, apalagi bapak Jokowi bukannya tidak merasa sedih, tapi inilah harga yang harus dibayar untuk pendidikan politik bangsa.