Membaca fenomena mencuatnya dua sosok muda di kancah politik pemilihan kepemimpinan kekinian yang penulis serap dari ragam wacana media daring, berakhir dengan simpulan penulis bahwa komitmen para aktor politik pada calon pemimpin muda sungguh memprihatinkan.
G yang pertama, Gibran, diserang habis-habisan karena alasan dinasti, meskipun ia sudah menunjukkan tekad perubahan perannya dari seorang wirausaha cukup sukses ke peran kepemimpinan politik tingkat cukup relevan dengan aspirasi-nya sebagai wirausahawan sukses, yakni kepemimpinan politik level walikota.
Sedang G yang kedua, Giring, diserang habis-habisan karena kenekatannya mencalonkan-diri sebagai calon presiden masa depan meskipun tanpa "backing" kendaraan politik yang memadai, bahkan praktis bisa dibilang nyaris tanpa kendaraan politik.Â
"Two young G, in Two Extreem Poles" terbantai dengan alasan yang kontradiktif. Maunya masyarakat media seperti apa sihhh? Bila logika penikmat media ini diikuti, maka yang akan keluar sebagai hasil akhir kelak mungkin Gibran jadi presiden dan Giring jadi walikota! Bingung khan???
Tapi fenomena 2G ini cukup menarik terutama untuk pembelajaran politik bagi generasi milenial yang mulai terbiasa dengan konsep "jebakan keterpusatan" seperti konsep demokrasi, konsep dinasti politik,oligarki, oposisi (pengendali atau penyeimbang kekuasaan pemerintah), konsep terkait peran parpol sebagai kendaraan politik, dan lain-lain.
Bagi generasi milenial yang tidak asing dengan peran kritis "fungsi pinggiran" dalam ranah teknologi dan ekonomi kekinian, juga dengan arus gaya pemikiran posmo; maka konsep-konsep jadul (keterpusatan) seperti itu rentan untuk dijadikan sasaran wacana politik.
Seorang filsuf yang bernama Jacques Derrida pernah memaklumatkan semacam adagium bahwa segala macam pernyataan (konsep) yang kita pikir sebagai sudah benar, selalu akan dapat "diplesetkan" oleh pihak lain.Mengapa demikian?Â
Karena, menurut beliau seturut penangkapan penulis, setiap pernyataan yang kita yakini sebagai sudah benar itu tidak benar-benar tunggal dan senantiasa dalam kondisi memboncengkan semacam konsep bayangan 'kontradiktif' (lawannya) yang akan berpotensi jadi benar melalui perulangan (repeatable-with-difference) dan ekspansi.Â
Konsep bayangan itu beliau jelaskan melalui konsep "differance" Â dan "trace" (jejak). Differance bisa dijelaskan, mudahnya, sebagai sumber makna suatu konsep, dan trace sebagai kondisi makna yang tidak pernah stabil (undecidable presence and absence at the origin of meaning). Dengan demikian, semua perbendaharaan kata (konsep) tidak pernah lepas dari kancah permainan trace (jejak), dan implikasinya adalah bahwa 'trace' meruntuhkan klaim kepenuhan (kehadiran) yang melandasi semua prosedur dan konsep.
Untuk menjelaskan hal di atas, mula-mula kita harus membedakan antara pernyataan yang performatif dan konstatif. Pernyataan performatif adalah pernyataan tentang tindakan dan pemenuhannya (do things with word), jadi tidak bisa dilekatkan dengan norma benar atau salah, melainkan dengan norma gagal atau terpenuhi, misal  menikah, menuntut, mengeluhkan, dst.
Sebaliknya, pernyataan konstatif adalah pernyataan tentang keadaan satu atau beberapa hal, dan pernyataan seperti inilah yang dapat dikenakan norma benar atau salah,juga merupakan pernyataan yang ditonjolkan dalam filsafat dan semua sains. Untuk dapat memahami setiap pernyataan performatif secara akurat diperlukan apa yang disebut konteks. Nah, pada konteks ini lah letak sumber permasalahannya.