Membaca berita "daring" terkini tentang negeri tetangga Selandia Baru, yang sedang "tergagap-gagap" menolak kembalinya tamu tak diundang, covid, melontarkan imaji penulis ke masa-masa silam ketika masih berstatus penggila cerita komik silat. Mungkin saja, suasana batin warga SB (Selandia Baru) sekarang ini bak suasana batin seorang pendekar sakti "kunyu-kunyu" yang baru turun gunung, dan sialnya langsung berjumpa dengan lawan dari "aliran hitam pekat" yang sedigdaya Rahwana. Belum ada tiga tarikan nafas lega, setelah sukses mengandaskan lawan dengan jurus gemilang; ternyata simusuh cilaka itu kembali bangkit, bahkan dengan kondisi raga yang lebih bugar. Maka tidak bisa tidak, si pendekar pun terhenyak dan tergagap-gagap.
   "Aji rawarontek," desahnya sembari surutkan langkah tuk mencuri kesempatan dan menenangkan gejolak batin yang mulai menggempur nyali. Wajahnya kini mulai pias, dan ototnya terlihat lebih tegang. Perlahan ia tenangkan diri melalui tarikan nafas panjang, dan berusaha untuk memperoleh pijakan konsentrasi perlawanan baru.
   "Fresh outbreak!" Pekik warga SB, mungkin sepadan dengan keluh cemas "Rawarontek"-nya si pendekar jadul dari gunung Lawu. Penulis pun sangat sepakat dengan kesepadanan maknanya,  apalagi setelah kelimpungan mencari padanan kata "fresh outbreak" di KBBI. Bila diterjemahkan dengan ungkapan "pandemi baru", terdengar kurang mengandung makna krisis yang kembali mengguncang; bila digelari dengan ungkapan " bencana atau pandemi segar", terkesan kontradiktif; "Bencana atau pandemi kok segar ?" ; ungkapan "perjangkitan baru atau segar" juga masih janggal dan kontradiktif; "Perjangkitan kok baru?". Akhir kebingungan, ya melalui analogi makna tersirat " rawarontek", setidaknya kata rawarontek muwakil rasa gagap dan cemas yang kembali hadir dan menyerang kita semua.
   Ajian rawarontek itu ilmu kesaktian purba yang sangat "nggegirisi". Konon, ilmu ini diperoleh sang raja Alengka Rahwana melalui cara yang sangat licik, yaitu mengelabui gurunya tersebut melalui perubahan ujud diri yang menyamar sebagai adik sang guru.Â
Ilmu yang sangat langka ini, memungkinkan si pemiliknya untuk bersetubuh dengan bumi, dan akan segera bangkit atau pulih setiap kali ia sekarat di pangkuan bumi. Bayangkan, bila pandemi covid ini bak ajian rawarontek! Mungkinkah si virus covid itu bagian dari gelembung-gelembung nafas sang Rahwana yang tertaburi ajian "nggegirisi" itu?
   Setidaknya, detik-detik ini, semua warga SB sedang dilanda galau setingkat kegalauan sang pendekar gunung Lawu. Kedua generasi terpisah samudera dan jaman tersebut sedang mengalami semacam perulangan "keprihatinan"; atau inikah yang disebut orang era lampau sebagai karma? Entahlah, yang jelas baik pandemi covid maupun ajian rawarontek, keduanya bersifat mematikan dan tidak mudah mati! Bedanya mungkin hanya dari segi kecepatan penjangkitan dan segi kemasifannya; kian moderen, kian masif dan kian pesat!
   Hal yang paling mengesankan penulis dari kesepadanan makna antara pandemi covid dan ajian rawarontek adalah bahwa keduanya dicintai oleh bumi! Dengan adanya pandemi covid,  bumi kembali jadi berseri, dan efek rumah kaca berkurang cukup drastis; seolah covid adalah saudara kembar rawarontek yang jadi buah rindu bumi pertiwi, yang telah sekian lama terlecehkan oleh efek panas tak tersaput sehat, atau oleh pengap bungkaman sampah plastik.
   Bicara tentang bumi, konon kata leluhur, berarti berwacana tentang perempuan atau ibu. Perempuan adalah bumi, dan asmara agung Rahwana, pewaris rawarontek, - pun terpatok pada satu sosok perempuan dewa hingga seluruh pertaruhannya kandas, dari negeri hingga nyawa. Betapa agungnya perempuan di benak para leluhur jadul kita.
   Terkait pandemi covid dan perempuan, penulis punya mimpi menarik. Dalam mimpi, penulis berkenalan dengan sosok perempuan pejuang atau aktivis jender militan. Dalam mimpi, ia bercerita tentang kepedihan dan keprihatinannya karena harus menghidupi dua dunia yang terpisah jauh yang diantarai jurang luas menganga. Ia harus menjalani hidup dengan mengangkangi jurang perbedaan itu, jurang antara dunia faktis biologis dan dunia peran perempuannya.Â
Jurang itu kian meluas dan menganga; sebanding dengan perubahan arah jaman moderen, yang di satu pihak menuntut peran "superwomen"; tapi, di pihak lain budaya patriakh itu sendiri  kian kaku dan ancaman pembatasannya merambah liar dan kian dalam. Dengan demikian, si perempuan mengalami kekerasan akibat konflik pangkat dua; konflik biologis dan peran jender plus konflik intra-peran jender itu sendiri! Inilah, menurutnya, kekerasan obyektif pada perempuan.Â
Kekerasan yang dialami selama lebih dari tiga perempat hidupnya ini  bersumber dari sikap pria yang mau menangnya sendiri. Ia sedih, karena di media massa yang ditonjolkan hanya berita tentang kekerasan subyektif; ya kasus perkosaan, kasus begal payudara (ini kasus terkini), dan lebih  anehnya yang dikambing hitamkan adalah tubuh seksi perempuan atau bahkan sekedar  karena alasan filem porno. Ini absurd! Bila hanya alasan " permukaan" dipolitisasi, maka seolah-olah kaum pria itu sekedar hewan pejantan tanpa otak (apalagi hati) dan lagi-lagi perempuanlah yang ujung-ujungnya disudutkan.Â