Penulis sangat respek pada semua tindakan vokalis grup musik SID ini, bukan terkait apa yang disuarakan, -sekontroversial apapun-, melainkan pada sikap konsisten dan 'galant' (luwes) yang menunjukkan besarnya perhatian beliau pada berbagai celah kelemahan tingkat operasional dari satu kebijakan.
Memang dalam kondisi serba dilematis kita dituntut untuk bisa bersikap holistis (menyeluruh) sekaligus kritis juga tegas. Dan tuntutan sikap seperti ini tidak sederhana, apalagi mudah. Â Legitimasi saudara Jerinx sederhana dan lebih gamblang; ia menyuarakan hasrat atau tuntutan riil dan aktual dengan beralaskan pada nyali atau keberanian memilih.
Ia mencoba mendobrak, kecemasan umum, dan meyakinkan mereka untuk berpaling pada prinsip kebalikan melalui segenap ekspressinya. Ia sudah sangat "gerah" dengan kondisi lingkungan yang mulai meredam semua daya alami. Dengan demikian, dari sudut berdemokrasi, segala tundakan dan suara kegerahannya tidak dapat disalahkan bahkan harus kita dukung keberaniannya.
Masalah kritisnya, ungkapan dan tindakan saudara Jerinx yang dalam kondisi normal atau non-pandemik dapat kita benarkan, kini dihadapkan pada realitas umum yang menuntut tingkat solidaritas tingkat ekstra (atau tingkat plus kuadrat): dan tuntutan umum ini akan tetap bersifat "memaksa" sejauh upaya saudara Jerinx hanya berterima sebatas dirinya atau kelompoknya.
Mengapa demikian? Karena publik punya legitimasi -nya pula; selama tidak ada jaminan bahwa pandemi corona beserta resiko penularannya telah sirna, publik berhak menuntut perilaku solidaritas.
Jadi, perilaku dan suara saudara Jerinx itu baru dapat menjadi legitimasi publik bila suaranya dapat meyakinkan publik: dan saudara Jerinx dilarang atau jadi kelewat batas bila ia mulai mengkritik tanpa dasar pihak kesehatan atau rumah-sakit.
Mengapa kritik tanpa dasar kuat ke pihak kesehatan menjadi semacam peringatan keras untuk batas kebebasan bersuara saudara Jerinx? Alasannya, karena pihak kesehatan merupakan sumber legitimasi publik. Pihak kesehatan-lah yang pertama-tama dan satu-satunya lembaga yang akan dipersalahkan publik bila salah mengambil keputusan atau tindakan; bukan si pengkritisi. Kecuali, si pengkritisi punya argumentasi kuat dan bukti valid yang dapat menjamin bahwa pandemi covid sungguh tidak berbahaya bagi masyarakat.
Dengan demikian, kesimpulannya, suara dan tindakan yang mendasarkan diri pada prinsip kebalikan, tetap tidak dapat dipersalahakan secara hukum, Â namun punya konsekuensi sosial juga politik karena menentang kepentingan dan kebijakan formal yang berlaku umum; yakni selama belum ada bukti handal yang dapat menjadi jaminan atau pegangan oleh pihak kesehatan.
Maka, langkah paling aman bagi masyarakat, adalah mengkritisi hal yang dapat meyakinkan umum, tapi yang tidak menuntut bukti valid yang belum dapat diperoleh (kecuali memang memperoleh dukungan dari tokoh medis lain yang juga valid).
Misalnya, kritisilah pelaksanaan, atau SOP, atau praktek alokasi anggaran dari kebijakan yang telah dengan terpaksa (karena dalam kondisi serba tak pasti) kita terima; saran seperti ini, dalam kondisi nornal, memang bukan saran demokratis, tapi demokrasi pun sebenarnya tidak mengasumsikan kondisi pandemi yang serba tak pasti.
Mana ada praktek demokrasi dijalankan oleh sekelompok pasukan militer yang sedang terkepung musuh? Satu-satunya musuh adalah sesama anggota yang lari ke kubu lawan, toh?