Di negara yang sedang dipaksa untuk gandrung pada yang namanya demokrasi, terkadang kita jadi sering agak "kebablasan" atau ngawur. Kebebasan bersuara atau menyumbangkan pikiran lalu dimutlakkan, semua suara warga negara harus didengar! Pertanyaannya, apakah suara seorang penjahat atau residivis juga harus kita dengar? Apakah suara seorang pengecut dan kurang bertanggung-jawab juga harus kita dengar? Â Dan mengapa kita harus mendengarkan suara mereka yang tidak pernah mendengarkan kita?
Bila hanya karena alasan tidak didengar lalu kita merasa bebas untuk bertindak ekstrim di luar sistem? Maka, pertanyaannya adalah apakah itu yang dinamakan praktek berdemokrasi? Apakah seorang anak yang tidak pernah mendengarkan orang-tua, lalu protes dan kabur dari rumah dengan alasan protesnya tidak pernah di dengar itu pun cermin perilaku demokrasi? Aneh sekali bila benar demikian; karena tanpa kewajiban mendengarkan ia merasa berhak untuk didengar.
Sejak awal kita belajar demokrasi, satu hal penting yang selalu ditekankan adalah keseimbangan hak dan kewajiban. Dengan demokrasi kita belajar untuk saling mendengarkan, bukan hanya didengar atau mendengarkan. Tuntutan keseimbangan tersebut semakin kritis ketika kita semua dihadapkan pada bencana yang belum teratasi.
Dalam situasi dan kondisi yang teramat kritis dan penuh kesukaran, kita akan segera berprasangka negatif ketika ada di antara kita yang tiba-tiba (dengan tanpa alasan yang rasional atau berterima) keluar pagar dan bergaduh dengan suara penuh keyakinan bahwa rumah yang kita tempati nyaris runtuh. Pertanyaan yang akan segera muncul pastilah,
"Ada apa? Mengapa tanpa alasan jelas tiba-tiba keluar dan mengumbar kata tentang bencana fatal? Mengapa justru di saat kita semua kehilangan orientasi, mereka pergi dan mencela kerentanan rumah yang akan segera runtuh dengan pekik penyelamatan?"
Kita akan cukup maklum dan beranggapan bahwa aksi mereka yang keluar rumah sebagai bagian dari demokrasi kehidupan bersama bila sebelumnya mereka telah berusaha keras menunjukkan jalan atau cara alternatif yang berterima tapi lalu diabaikan, atau terabaikan. Jelas mereka belum pernah mengusulkan atau bersuara apapun terkait pandemi, dan tiba-tiba saja hengkang dan menebarkan kata sihir dan ramalan tentang karam. Sungguh, kasus kali ini sangat aneh dan memaksa penulis untuk mengkaitkan keanehan tindakan mereka dengan berbagai peristiwa sebelumnya menyangkut penentangan pada kebijakan formal terkait pandemi covid.
Bila memang benar demikian, bila sungguh ada keterkaitannya, lalu mengapa pula kita harus mendengarkan suara mereka? Apakah kita harus mendengarkan suara mereka yang menentang kebijakan pencegahan pandemi covid? Atau mereka sedang menyimpan sesuatu yang sudah lama dipendam dan hanya akan disampaikan pada sang penguasa tanpa harus diketahui publik? Dengan kata lain, mereka sedang memanfaatkan kondisi krisis untuk kepentingan mereka, bila benar demikian adanya; maka mereka sedang menelanjangi dirinya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI