Tulisan rusakku lainnya:
Siapa tak kenal Nietzsche? Filsuf besar berpalu godam yang melantakkan semua nilai pada eranya. Satirnya yang tak kenal ampun, menusuk pedas habis-habisan idealisme Jerman, tak terkecuali moral Kristiani yang sedang mengalami dekaden. Seorang diri  ia membangun filsafat pemberontakkannya dengan kata kunci "Will to Power" dan "Superman".
Immanuel Kant dan Frederich Hegel pun tak luput dari satir pedasnya, juga Luther! Ia satu-satunya filsuf yang dengan tegas menyatakan bahwa filsafatnya tak akan dapat dipahami (apalagi diterima) oleh orang sejamannya (rekan sesama filsuf sekalipun!) Dan terbukti benar. Para penganut aliran strukturalisme di era 1960-an bisa dibilang cucu waris ajarannya. Foucault pun menimba ilmu arkeologi kuasa-nya dari  sang penggempur tembok.
Menurutnya "Will to Power" adalah:
1) Pluralitas sensasi, yaitu sensasi kondisi "dari" dan "kemana" tujuan itu sendiri. Terkait dengannya adalah sensasi otot yang menyertainya. jenis-jenis sensasi adalah kandungan dari kehendak (the will).
2) Dalam tindakan setiap kehendak terdapat pikiran yang mendominasi (the ruling will)
3) Kehendak tak hanya sensasi dan pikiran yang kompleks, tapi terutama merupakan emosi, yaitu emosi yang memerintah.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa "freedom of will" pada dasarnya emosi supremasi (keunggulan) yang tentangnya adalah bahwa  "ia yang harus patuh" - "saya bebas", ia "harus patuh!". Kesadaran ini ada dalam kehendak.
Hal lain yang juga penting adalah bahwa pada saat kita "memerintah", Â serentak kita juga "diperintah", Ia , subyek, yang memerintah sekaligus yang juga harus patuh (berupa tekanan yang muncul secara berlawanan arah).
Dualitas tersebut, oleh istilah sintetis saya ( 'synthetic I')  kemudian dikelabui, seolah-olah  saya-lah yang berkehendak dan berhasil, padahal instrumen eksekutor  yang berkehendak dan berhasil.
Singkatnya, Will to Power itu dapat dianologikan  dengan kelas penguasa (governing class) yang selalu mendaku keberhasilan dari negara perserikatannya (commonwealth).