Sebuah grup militan meluncurkan roket ke kawasan pihak pendudukan yang dianggap lawan. Roket meletus, tanpa ada korban jiwa, tapi cukup lumayan menghasilkan asap hitam di udara.
Seorang capres A diberitakan menyebar fitnah. Ada surat kabar beredar luas yang bilang kalau capres lawannya (sebut saja capres B) punya keturunan suku dan agama minoritas. Inilah yang dibilang kampanye hitam, tentunya oleh pihak yang "merasa dirugikan" di kubu capres B oleh berita tersebut.
Apa bedanya antara kedua hal tersebut? Salah pertanyaan nih, ya jelas dong bedanya.
Ganti pertanyaan aja ya.
Apa ada kesamaannya, antara kampanye hitam dan asap hitam tadi?
Ceritanya kita lanjutkan dulu.
Setelah roket meletus dan muncul asap hitam, maka si pihak pendudukan dengan segenap kemampuan militernya pun membalas dengan serangan gencar dengan rudal jelajah dan pesawat tempur ke lokasi-lokasi perlawanan grup militan. Ratusan korban jiwa berjatuhan di kubu militan termasuk juga kerugian besar harta benda. Si pihak pendudukan menjelaskan ke dunia internasional bahwa aksi militernya merupakan balasan atas serangan roket berasap hitam tadi. Sebuah "keniscayaan". Begitu katanya.
Setelah merasa dirugikan, kubu capres B menemukan bahwa capres A justru ternyata punya banyak anggota tim dari suku minoritas dan anggota keluarganya justru beragama minoritas. Bergembiralah kubu capres B yang tadinya "merasa dirugikan" oleh kampanye hitam lawannya. Berbaliklah mereka menyerang capres A atas dasar kenyataan tersebut. Para pendukungnya kompak "menyerang balik" karena sebelumnya sudah "diserang duluan", sehingga aksi serangan balik ini sebuah "keniscayaan" dan dibela sebagai balasan atas kampanye hitam. Terkuaklah keburukan capres A. Begitu katanya.
Hitam. Kelam. Dua-duanya sama.
Betul-betul gelap, tidak jelas siapa yang benar dan layak dibela.
Tapi jelaslah siapa yang lebih diuntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H