-Masih Terbatasnya Literasi dan Biografi Dari WAGE, Namun Tetap Melekat di Sanubari Bangsa Indonesia-
Kalimat diatas mungkin bagian salah satu alasan mengapa seorang seniman film/sineas bernama John De Rantau menggarap Film WAGE, sang penggubah dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Film memiliki nilai perjuangan dan rasa nasionalis yang tinggi ini menceritakan tentang sosok kehidupan dan semangat seorang pemuda dengan intelektualitasnya dalam ikut memperjuangkan kemerdekaan serta membela kehormatan tanah air Indonesia. Nilai-nilai perjuaangan inilah yang ingin ditampilkan kepada pemuda-pemudi sekarang ini, agar perlunya mengetahui sosok Wage Rudolf Supratman.
Dalam perjalanan waktu yang panjang "Wage" dengan nama lengkap Wage Rudolf Supratman, mempunyai rentetan dan perjalanan kehidupan yang hingga akhir hayatnya meninggalkan keharuman namanya sebagai tokoh dan sekaligus pahlawan bagi bumi pertiwi Indonesia.
Wage memiliki semangat nasionalis untuk ikut berjuang memperebutkan kemerdekaan bangsa Indonesia ini melawan penjajah Belanda. Perjuangannya pun tidak sia-sia. Walaupun dirinya di kejar-kejar layaknya seperti buronan/penjahat oleh penjajah tetapi dengan semangat juang yang tinggi seperti yang telah dibuktikan oleh para tokoh pejuang daerah yakni Pangeran Diponegoro (pejuang yang mampu mengusir para penjajah dari daerahnya),yang menjadikan dirinya (Wage) bertekad mewujudkan kemerdekaan dengan mengumandangkan lagu gubahannya Indonesia Raya pada 28 Oktober 1928.
Sebagai sutradara dan sekaligus produser Film WAGE, John De Rantau menceritakan inti dari biopic sosok Wage di film WAGE. Bagaimana saat proses lahirnya lagu Indonesia Raya, siapa sosok Wage Rudolf Supratman?, dan semangat juang yang seperti apa pada saat dirinya ikut memperjuangkan kemerdekaaan bangsa Indonesia.Â
"Wage adalah generasi baru yang lahir diawal tahun 1900-an, dimana anak-anak sekolah mulai muncul maka mereka melakukan pergerakan bukan lagi dengan fisik tapi dengan intelektual bahwa mereka belajar dengan revolusi perancis dan banyak sekali revolusi yang mereka pelajari karena mereka sekolah, bahwa ternyata memperjuangkan kebangsaan dan meraih kemerdekaan itu tidak harus dengan fisik saja tapi juga dengan diplomasi dengan pikiran, dengan karya bersama kelompok-kelompok. Sehingga lahir partai-partai pada saat itu seperti lahir Serikat Priyayi, Serikat Dagang Islam (SDI), Serikat Islam (SI), kemudian lahirlah para tokoh yang bernama Muhammadiyah dan lahirlah Nahdlatul yang artinya Kebangkitan.Â
Akibat partai-partai ini lahir memunculkan semangat primordial dimanapun, bahwa kesadaran bersatu mereka muncul lahirlah namanya Djong Java, Djong Ambon, Djong Celebes, dan perwakilan-perwakilan ini berkumpullah di Jakarta untuk membentuk namanya kongres pemuda tahun 1926, untuk mewujudkan Indonesia seperti yang kita harapkan kedepan gagal, karena spiritnya primordial muncullah pendapat-pendapat yang menyatakan (dirinya) paling bagus Djong Java atau yang lainnya.Â
Akhirnya ketika ada lagu kebangsaan Indonesia Raya pada tahun 1928 dikumandangkan, mulai spirit kesatuannya muncul sehingga itu menjadi (faktor) bahaya buat Belanda (penjajah pada saat itu) dan mengakibatkan Wage Rudolf Supratman dikejar," papar John De Rantau kepada teman-teman jurnalis blogger Kopi seusai menonton trailler (sepenggal narasi) Film WAGE di bioskop XXI Paragon, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Kamis (28/09/2017).
Selain itu, menurut John, sutradara berusia 47 tahun kelahiran kota Padang ini menyebutkan bahwa film ini berpola noir.
"Film saya ini seperti film detektif yang kejar-kejaran. Kayak Polisi ingin menangkap penjahat gitu, sehingga saya bilang kok malah pahlawan ini dianggap penjahat. Sudut pandangnya dari Belanda karena kebenaran pada saat itu pegangan Belanda karena yang berkuasa, sehingga jadinya noir buat saya pada sisi gelapnya," ungkapnya.
"Makanya ciri khas noir, photografinya sangat kontras, tokoh-tokohnya sangat kontras tapi tidak ada protagonis dan antagonis yang ada manusia di manusiakan," tuturnya menambahkan.