Kisah ini sudah terjadi tahun lalu, tercatat rapih di diary pribadi.
Ketika itu saya berkunjung ke rumahnya bapak Maksimus Masan, waktu itu sore hari, tanpa keperluan penting dan niatnya mampir hanya untuk mencari inspirasi dan mendengar 'tutu koda orang tua'. O ia, dan juga sekalian cek apakah ada pisang goreng balur tepung buatan ibu Pak Maksi yang uenak pool.Â
Ketika sedang asyk ngobrol, tiba-tiba dipotong dengan satu pertanyaan; 'Pa Tom sudah pernah ke kotenwalang?'. Nama depan saya Antonius, tetapi oleh Pak Maksi saya dipanggil Pak Tom, mungkin karena saya mirip Tom Crus.Â
Lanjut ceritanya, saya lalu jawab 'belum Pak! ', beliau langsung bilang 'besok ikut saya, kita ke Kotenwalang!'
Tanggal 12 Juni 2021 bersama kakak Staniz, guru dari Adonara dan Pak Maksi, kami bertiga berangkat ke Kotenwalang untuk mengikuti kegiatan konferensi pgri tingkat ranting di Kecamatan Tanjung Bunga.Â
Kotenwalang adalah titik terjauh yang saya kunjungi ke arah timur Pulau Flores. Sebagai orang dari wilayah Tanjung Bunga, sebenarnya saya tidak malu ketika di usia sekarang belum sampai ke Kotenwalang, tetapi karena diberitahu bahwa seharusnya saya malu, maka saya pun jadi malu karena belum meng-explore wilayah-wilayah terdekat di dalam Kabupaten sendiri.Â
Memang benar, ini bukan tentang 'untuk apa saya ke sana?' tetapi tentang mengenal daerah kita sendiri. Melihat, terlibat, dan merasakan sendiri.
Perjalanan ke Kotenwalang sangat menyenangkan, walaupun medan yang ditempuh lumayan berat. Ada beberapa titik pendakian yang cukup tajam. Waktu tempuh dari Waiklibang kira-kira 1.5 jam. Kurang lebih 3 KM sebelum kampung Lewokoli jalan yang tadinya aspal licin, beralih ke jalan tanah yang belum pernah diaspal.
Jalan yang sudah rusak berat ini  diperparah dengan aliran air yang membentuk semacam kali kali kecil yang mengorek dan membuat permukaan jalan jadi penuh batu kerikil lepas dan berlubang lebar dan dalam.Â
Kalau kita berangkatnya dengan motor Mio, maka saat pulangnya bisa-bisa motor Mio tadi  berubah jadi Revo.Â