Mohon tunggu...
Mario Wahyu Slamet
Mario Wahyu Slamet Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PILIH SWASTA ATAU NEGERI?

8 April 2012   09:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:53 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya heran ketika melihat berita para calon mahasiwa rela berdesak – desakan bahkan sampai ada yang berbuat curang saat mengikuti tes SNMPTN. Bahkan ada yang rela masuk ke program D3 PTN demi memiliki status sebagai mahasiswa PTN.Lalu mengapakah PTS selalu menjadi pilihan nomor dua? Apa karena kualitas yang jauh di bawah PTN? Atau bahkan sebaliknya? Mari simak pengalaman saya.

Setelah lulus dari sebuah SMP di Kota Solo saya memutuskan untuk melanjutkan studi saya ke sebuah SMA swasta Katolik di Solo, meskipun saat itu orang tua saya menyarankan agar saya masuk ke SMA negeri karena melihat nilai saya yang bisa sebagai “modal” untuk masuk, namun saya tetap bersikukuh untuk masuk ke sekolah swasta dan akhirnya orang tua saya dengan berat hati merestuinya. Mengapa saya tidak memilih ke sekolah negeri saat itu? Saat SD-SMP saya bersekolah di sekolahan “pelat merah” , menurut saya sekolahan milik pemerintahan tersebut hanya mengejar keuntungan semata (dalam hal ini materi.red) ini dapat terlihat dari banyaknya “sumbangan liar” yang diajukan ke orang tua siswa saat pergantian tahun pelajaran tanpa adanya peningkatanfasilitas penunjang maupun tenaga pengajar. Di SMP saya sering kali mendapatkan “zonk” alias jam kosong karena guru – guru sering tidak masuk entah kemana begitupun saat saya di sekolah dasar. Hal inilah yang membuat saya “trauma” dan berfikir dua kali untuk melanjutkan studi saya kesekolahan milik pemerintah bahkan hingga saat ini.

Hari pertama bersekolah di SMA saya langsung dibuat kagum, bukan karena gedung yang megah, bukan juga karena fasilitas yang mewah, tetapi saya dibuat kagum oleh tingkat profesionalitas dan tingkat kedisiplinan yang tinggi dari setiap tenaga pengajar. Ini dapat terlihat saat pergantian jam pelajaran, saat itu alih – alih jajan ke kantin, ke kamar kecilpun hampir tidak sempat, ini terjadi karena guru yang mengampu mata pelajaran berikutnya telah menunggu diluar kelas, bahkan saat guru yang ada dikelas belum selesai mengajar. Hal tersebut hampir terjadi setiap harinya, dan bahkan sudah menjadi kebiasaan. Di SMA saya jarang sekali saya temui jam kosong, karena meskipun guru sedang tidak enak badan alias sakit, beliau tetap memberikan pelajaran dengan semangat. So, ga ada alasan untuk jam kosong apalagi pulang lebih awal.

Setelah lulus SMA, saya memutuskan untuk melanjutkan studi saya ke salah satu PTS di Kota Bengawan, dan saya mengambil Prodi Ilmu Hubungan Internasional. Meskipun kembali orang tua saya menyarankan agar saya mencoba masuk PTN terlebih dahulu, tetapi saya langsung menolaknya. Karena saya berpikir palingan semua sekolah negeri sama saja, hanya mengejar materi semata. Ini terlihat dari banyaknya PTN yang berlomba – lomba mengadakan Ujian Masuk lebih dini dari SNMPTN, dengan tariff “sumbangan” yang lumayan menguras kantong.Maka dari itu saya langsung memutuskan mendaftar ke PTS daripada membuang – buang waktu dan biaya untuk ikut tes di PTN.

Di PTS hal yang saya alami semasa SMA terulang lagi, disini para dosen sangatlah professional, mereka dengan sabar dan penuh semangat memberikan kuliah, baik dalam kondisi sehat maupun kurang sehat. Jadi membuat jam kosong hampir tidak pernah saya alami. Dosen – dosen juga dengan mudah kita temui untuk berkonsultasi atau hanya sekedar ngobrol, bahkan beliau juga bisa dihubungi melalui berbagai media mulai dari BBMtm, Facebooktm, hingga Twittertm. Mesipun saat ini kampus saya terbilang kampus kecil dan pinggiran, tetapi hal tersebut dapat tertutupi oleh tingkat profesionalitas serta tingkat kedisiplinan yang tinggi dari setiap warga kampus, terutama para dosen. Hal ini sangatlah berbeda denga apa yang dialami oleh kakak saya yang berkuliah di salah satu PTN di negeri ini. Jangankan ngobrol, ketemu untuk hal yang penting (Konsultasi skripsi.red) saja dosen sering tidak ada di tempat. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana proses kuliah sehari – harinya.Apakah ini yang disebut abdi negara?

Dari pengalaman saya tersebut dapat saya simpulkan bahwa tingkat profesionalitas dan tingkat kedisiplinanlah yang membedakan sekolah swasta dengan sekolah “berplat merah”. Di sini saya tidak mau menjelek – jelekan sekolah negeri, atau saya membuat gerakan anti sekolah negeri, saya hanya berbagi pengalaman pribadi saja. So, pilihan ada di tangan kalian mau swasta atau negeri? Salam Sukses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun