Mohon tunggu...
antonius guntur
antonius guntur Mohon Tunggu... Sebagai Staff Pengajar di Perusahaan Jasa Keuangan; Motivator; Penulis Lepas -

Kebahagiaan adalah memberi. Jika kita berpikir untuk memberi, maka kita akan dijadikan saluran berkat untuk sesama. Tetapi jika tidak pernah berpikir untuk memberi, maka selamanya kita tidak akan pernah merasa punya...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi Satria Piningit?

6 Mei 2015   15:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hampir setengah tahun sudah Jokowi-JK menahkodai perahu besar bernama Indonesia. Perahu itu kini melaju di tengah hantanam badai dan gelombang tinggi, hujan dan cuaca yang lebih banyak tidak bersahabat ketimbang tenang. Semua penumpang berharap, dermaga tujuan segera terlihat semakin jelas dan semua bisa mendarat dengan selamat.

Setelah Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Jokowi adalah anak kandung Reformasi yang bergulir sejak 1998 lalu. Harap dicatat dalam memori kolektif bangsa Indonesia, Jokowi-JK adalah pilihan rakyat, meski dalam perjalanannya harus melewati serangkaian hambatan. Bangsa ini sudah cukup dewasa untuk tidak disebut sedang belajar menjadi dewasa. Setidaknya itulah yang dapat kita saksikan bersama: rakyat bebas memilih siapa pemimpinnya. Angin demokrasi bertiup kencang membawa harapan baru, harapan bagi 250 juta rakyat negeri ini.

Bukan harapan biasa

Setelah 10 tahun memerintah, Susilo Bambang Yudoyono lengser dengan senyum lebar. Bangsa ini telah menorehkan sejarah, SBY menjadi presiden pertama pilihan rakyat. Tahun 2004 silam, rakyat menantikan pemimpin baru yang digadang-gadang bakal membawa bangsa besar ini tinggal landas menuju kesejahteraan yang hakiki seperti yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bangsa ini seperti menantikan datangnya ‘satria piningit’ yang diyakini bakal membawa angin segar perubahan, membawa rakyat adil dan makmur. SBY, yang adalah seorang prajurit dan bukan berasal dari trah pemimpin era sebelumnya diyakini banyak pihak bakal tampil sebagai sosok yang bisa mengantarkan bangsa Indonesia menuju pintu gerbang kemakmuran lahir dan batin. SBY yang merepresentasikan rakyat kebanyakan, namun oleh karena kecemerlangan karier militer, intelektual, dan perjuangannya bisa tampil memimpin bangsa ini, diyakini oleh berbagai kalangan sebagai satria piningit yang dinanti-nantikan seluruh rakyat.

Harapan dan penantian itu bukan main-main. Seluruh rakyat menantikan perubahan setelah selama lebih dari tiga dekade berkutat dalam keadaan yang itu-itu saja. Boleh dikata harapan bangsa ini bukan harapan biasa. Tetapi harapan yang sudah kadung membuncah dan penantian panjang yang terlanjur memerlukan jawaban. Maka tak mengherankan jika kemudian SBY kala itu digadang-gadang oleh hampir semua pihak yang mendambakan perubahan.

Siapakah sejatinya satria piningit ini? Jayabaya (memerintah Kerajaan Kediri tahun 1130-1157 M) dalam ramalannya menyebut bakal munculnya satria piningit, sosok ksatria yang selama ini terpingit (tidak menampakkan diri), yang bakal membawa negara-bangsa menuju jaman keemasan. Sosok satria piningit yang diramalkan Jayabaya ini seperti menemukan konteksnya ketika selama lebih dari tiga puluh tahun bangsa ini hidup dalam keprihatinan: korupsi menjadi gaya hidup, rakyat hidup miskin, dan terbunuhnya demokrasi. Satria piningit seperti sedang bersiap mendarat setelah sekian lama terbang di awang-awang, tersaput mega dan bersembunyi di balik awan. Tanpa melupakan jasa besar SBY selama 10 tahun memerintah, tanpa mengurangi rasa hormat kepada SBY yang menjaga kapal besar Indonesia ini, dan tanpa mengurangi apresiasi serta penghargaan kepada presiden kita keenam yang telah berjuang keras mematangkan demokrasi dan membuat peta jalan baru untuk Indonesia ke depan, kita berani mengatakan, satria piningit itu bukan SBY!

Bagaimana dengan Jokowi?

Memasuki tahun penting 2014, bangsa ini seperti dibangunkan dari tidur panjang selama 10 tahun. Lagi-lagi, rakyat menanti-nantikan satria piningit yang bakal membawa bangsa Indonesia menuju era baru, jaman keemasan seperti ramalam Jayabaya. Ketika dua pasangan presiden dan wakil presiden akhirnya berhadap-hadapan dalam satu panggung, rakyat seperti paham, mereka memilih sosok yang mewakili dirinya, yang berasal dari rakyat kecil, dan kiprahnya membela rakyat sudah teruji. Maka kemudian tampilah Jokowi-JK memimpin negeri ini. Jokowi, yang wong Solo ini, seperti mendapat panggung kehormatan. Sukses membawa Kota Solo ke pentas dunia, ia kemudian sukses mengubah wajah Jakarta. Gaya santai tetapi tegas dan tetap berwibawa yang diusungnya mampu membuat banyak kalangan angkat topi dan memuji dirinya sebagai calon pemimpin bangsa. Ia suka blusukan dan melihat langsung ke lapangan. Gaya blusukan ini pada waktunya akan banyak dikenang sekaligus ditiru banyak pejabat.

Tak lama memoles Jakarta Jokowi seperti ketiban pulung, berkesempatan menahkodai kapal besar Indonesia. Tak pelak, harapan rakyat tersemat di pundaknya. Ribuan warga yang mengantarkannya dari kompleks parlemen ke istana, seperti diakuinya dalam wawancara dengan salah satu televisi swasta, mampu menggetarkan sanubarinya. Jokowi sadar, harapan besar bangsa ini diembannya. Jokowi (mungkin) juga sadar sepenuhnya, rakyat sedang menantikan (kembali) satria piningit.

Di awal kepemimpinannya, bangsa ini sedikit gaduh. Gaduh oleh banyak hal yang sejatinya tidak perlu terjadi. Ketika Jokowi menetapkan jajaran pembantunya di kabinet, banyak orang menyebutnya sebagai petugas partai. Ini merujuk pada pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Megawati sebagai ketua umum PDI-P. Kala itu banyak menteri pembantunya jauh dari ekspektasi banyak kalangan. Hampir bersamaan dengan itu muncul olok-olok Jokowi sebagai bonekanya Megawati. Sementara Jokowi tertatih menghadapi terpaan demi terpaan, Senayan tak kalah riuh. Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai bagian dari opisisi seolah ingin membalas dendam kepada seterunya di parlemen. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) praktis tak mampu banyak bicara di awal-awal tugas mereka.

Tak henti sampai di situ, bangsa ini kembali gaduh saat Jokowi menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Apesnya, setelah ditetapkan sebagai calon kapolri yang bersangkutan ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka. Jika kita perhatikan, dampak lanjutan dari peristiwa alih kepemimpinan Polri tersebut hingga kini masih terasa. Tak sedikit yang mencibir Jokowi; ia nekad memilih Budi Gunawan karena ada desakan dari PDI-P. Semua mengerti, Budi Gunawan adalah mantan ajudan Megawati ketika ia memimpin negeri ini. Sejarah telah mencatat bagaimana Jokowi tampak sangat kerepotan menghadapi berbagai persoalan yang menghadangnya.

Dan yang masih hangat dalam ingatan kolektif bangsa ini, kongres PDI-P yang baru saja berlangsung di Bali beberapa waktu lalu seperti sedang ‘menjewer’ Jokowi. Kita semua paham, dalam hal ini Jokowi berada dalam posisi yang tidak mudah, alias serbakikuk. Selain hati nurani yang kearifan level tinggi, tidak ada yang bisa dijadikan panutan. Sampai di sini, apakah satria piningit itu Jokowi? Bukan!

Satria piningit tentu tidak akan menemukan sandungan berarti dalam menjalankan roda pemerintahan. Satria piningit tidak akan dengan gegabah menaikkan harga BBM sehingga membuat rakyat klepek-klepek menerima dampaknya. Satria piningit tidak akan tersandera garis kebijakan partai yang justru bisa menjauhkannya dari rakyat yang memilihnya. Ia juga tidak akan diolok-olok sebagai petugas partai atau bonekanya siapa pun. Satria piningit tidak akan menghadapi sindiran meski sindiran itu berasal dari bos-nya sendiri. Satria piningit tentu juga tidak akan ada yang berani menyentuhnya, apalagi menjewernya. Pun ia dengan mudah akan menumpas lawan-lawan politik yang berusaha menjegalnya dan dengan mudah akan membawa bangsa ini tinggal landas menuju era emas.

Bangsa ini juga tidak akan pernah lupa, bagaimana seorang presiden kecolongan membubuhkan teken pada dokumen penting negara yang di dalamnya tersemat kenaikan uang muka pembelian mobil untuk pejabat negara! Pendek kata, satria piningit belum mewujud dalam diri siapa pun. Ia masih terbang tinggi di awang-awang. Bahkan mungkin antara ada dan tiada. Ia akan hidup (kekal) antara kedua kemungkinan itu. Lantas, siapakah Jokowi? Ia adalah presiden RI ketujuh pilihan rakyat bangsa ini. Kita harus menghormati, mencintai, dan mendukung sepenuhnya selama presiden tetap patuh pada konstitusi. Kita yakin, presiden punya niat yang kudus dan harapan yang sama seperti seluruh rakyat negeri ini. Kita pahami ada kalanya presiden berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan karena sistem yang sudah ada dan terus kita pertahankan hingga kini. Kembali pada keyakinan di atas, Jokowi mesti menggunakan hati nurani dan kearifan tingkat tinggi agar bisa sukses menahkodai perahu besar Indonesia ini.

Antonius Guntur Rahmadi

Warga Negara Indonesia

Pemerhati persoalan sosial dan budaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun