Belakangan perhatian kita tersedot ke sebuah kafe di pusat Jakarta, tempat di mana drama (jika benar terbukti) pembunuhan sadis berlangsung. Sekumpulan sahabat, cewek-cewek, mungkin di mana-mana sama. Mereka punya impian tentang masa depan, cinta, karier cemerlang, keluarga bahagia dan semua hal yang mumbul di angkasa. Bedanya dengan cewek-cewek di kampung saya mungkin hanya soal tempat nongkrong dan asal sekolah mereka. Obrolan murah di media sosial turut merapatkan kohesi antar-cewek muda dan lagi produktif-produktifnya ini.
Apa mau dikata, Mirna Salihin sudah kadung berpulang setelah menyeruput kopi vietnamese yang konon sudah dibubuhi racun mematikan oleh sahabat se-gengnya sendiri. Kisah Mirna-Jesika-Hani di kafe Oliver ini menyentak kita semua lantaran mereka semestinya senantiasa bahagia, ketawa-ketiwi, senang-sedih bareng, dan punya impian besar bersama-sama. Saya membayangkan, mereka laiknya ‘geng rumpi’ yang personelnya saya kenal baik selama ini.
The Rumpi, demikian mereka menyebut dirinya, ini terdiri dari 4 cewek nyaris seumuran, sama-sama bekerja, sedang berproses menjadi semakin matang, dan sedang mengejar impian masing-masing. Minggu lalu saat satu di antara mereka melepas lajang, mereka bertiga membuat piala bergilir dan diserahkan ke mempelai yang lebih dulu menikah. Mengharukan. Melengkapi kebersamaan mereka biasanya mereka nongkrong, makan bareng, rumpi-rumpi bareng soal apa saja dari soal hidup sampai soal lelaki tentu saja. Topik yang terakhir itulah yang barangkali paling seru.
Di tengah persahabatan apa pun labelnya, entah itu geng, kelompok, komunitas, atau apa saja, selalu terdiri dari pribadi-pribadi yang unik. Masing-masing pribadi ini akan melebur, tetapi tetap membawa diri masing-masing ke dalamnya. Di titik inilah seseorang bisa saja lalai untuk senantiasa bersikap waspada dan hati-hati. Kedekatan dan kehangatan yang terjalin bisa saja mengeleminasi bawaan original seseorang sehingga pribadi yang mengalami gangguan (personality disorder) pun mungkin bisa tidak tampak.
Pribadi-pribadi yang penuh dendam, iri hati, hingga mereka yang psikopat sekalipun hanya bisa dikenali oleh orang-orang di sekitarnya melalui serangkaian pengamatan yang intensif berdasar literasi yang memadai. Kita lebih sering lalai untuk paham hal-hal seperti ini karena kebanyakan dari kita mendapatkan kesan bahwa si dia ‘baik banget’...
Kita masih harus menunggu bagaimana akhir kisah kafe dan racun ini di pengadilan. Tetapi, ujaran Sigmund Freud bisa menjadi acuan: betapa tidak ada seorang pun yang bisa benar-benar berdusta. Dengan kata lain, terdakwa yang masih ingkar pun bisa ketahuan berbohong. Dalam bahasa Jawa yang saya mengerti mungkin akan berlaku ukara: “becik ketitik ala ketara”; pada waktunya kebenaran tetap akan menampakkan dirinya. Dan, jika ada yang mau traktir, kita tidak perlu takut untuk ke kafe, bukan? Hayuuuk...
Yogyakarta, awal Februari 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H