Mohon tunggu...
antonius guntur
antonius guntur Mohon Tunggu... Sebagai Staff Pengajar di Perusahaan Jasa Keuangan; Motivator; Penulis Lepas -

Kebahagiaan adalah memberi. Jika kita berpikir untuk memberi, maka kita akan dijadikan saluran berkat untuk sesama. Tetapi jika tidak pernah berpikir untuk memberi, maka selamanya kita tidak akan pernah merasa punya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Tanya Besok Mau Makan Apa!

1 Februari 2016   10:23 Diperbarui: 1 Februari 2016   10:41 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak lama lagi segala sesuatunya bakal berubah. Orang-orang kecil di kampung halaman saya paham benar, tahun ini hujan terlambat datang, kemarau semakin panjang. Musim tanam mundur dan petani yang hanya mengandalkan alam terancam gagal panen.

Pas saya pulang kampung tempo hari, mereka mengeluh, karena ketika tanaman pangan andalan petani itu butuh guyuran hujan dengan intensitas tinggi, sang hujan justru menghilang, memupus harapan petani untuk yang kesekian. Kini, ancaman rawan pangan sudah di depan mata!

Saya tertegun mendengar cerita orang-orang kampung. Selain hujan yang telat datang, alam terkesan sangat pelit. Padi, jagung, kacang, dan tanaman pangan lain untuk cadangan di hari depan dan celengan untuk kebutuhan mereka esok menguning, merana merindu basah.

Susah mencari siapa yang salah. Kalau Tuhan murka pun mungkin tidak akan sedahsyat ini. Harian Kompas Senin, 25 Januari menulis tebal-tebal dalam headline-nya: Indonesia Sudah Terdampak Bencan Iklim. Bumi terus menghangat menuju panas. Tahun 2015 bahkan tercatat sebagai tahun terpanas bumi dengan kenaikkan 0,16-1,44 derajat Celcius dari suhu biasanya.

Hari-hari ini ketika hujan menghilang dan langit hanya dinaungi mendung, Jogja panasnya setengah mati. Para ahli menengarai, perubahan iklim berdampak pada kacaunya musim. Yang pertama-tama merasakan hal ini adalah bapak-ibu petani di kampung dan para nelayan.

Bagi Anda yang duduk manis dalam ruang ber-AC, memelototi komputer sembari curi-curi atau terang-terangan memainkan gadget mungkin belum merasakan apa yang dirasakan petani hari ini. Tetapi, sekali waktu, luangkan waktu ke Cirebon, Indramayu atau wilayah lain sentra beras Tanah Air, atau datanglah ke kampung halaman saya di Gunung Kidul sana. Rasakan desah nafas petani yang nyaris kehabisan pengharapan dan baui semangat juangnya yang terus menyala meski alam perlahan tidak lagi bersahabat.

Bersamaan dengan fenomena alam itu diprediksi bencana alam bakal semakin banyak. Ilmu ‘niteni’ milik para petani sudah tidak akan mampu lagi menerka kapan dan bulan apa kemarau atau musim penghujan bakal datang. Perubahan iklim sudah nyata-nyata mampu menjungkirbalikkan musim, mengacaukan masa tanam, hingga memundurkan musim panen, dan tak lama lagi bakal menggusur nasi di periuk-periuk di meja makan kita.

Akhirnya, ijinkan saya titip pesan kepada semua yang masih acuh dengan hal ini; Jangan bilang besok mau makan apa! Karena yang akan kita makan pun mungkin tidak ada...

Yogyakarta, awal Februari 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun