Mohon tunggu...
Antonius Christiano Baylon
Antonius Christiano Baylon Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA Kolese Kanisius Jakarta

berkaki dua, bertangan dua

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Hati-hati dengan Jebakan Hustle Culture!

10 November 2024   12:15 Diperbarui: 10 November 2024   12:17 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

You have the power over your mind not outside events, realize this and you will find strength. - Marcus Aurelius

Bangun pada pukul 04.00, meminum seteguk kopi, terkadang lupa untuk sarapan, dan langsung berangkat dari rumah untuk bekerja. Kerja hingga sampai larut malam, bahkan tak jarang lupa untuk pulang. Tubuh dan pikiran, dipaksa untuk bekerja seperti sebuah roda otomatis untuk menggerakan perusahaan besar. Perasaan dan pikiran semakin surut, terbawa oleh arus tidak masuk akalnya dunia kerja. Itulah realita dunia kerja pada masa kini. Seolah-olah imbalan diberikan kepada mereka yang bekerja dengan lebih giat, rela bekerja hingga larut malam demi mewujudkan sebuah impian seperti membeli handphone baru. Dalam prinsip hustle culture, selalu ada sesuatu yang bisa untuk dikejar dan diraih, entah gaji yang lebih besar, atau posisi yang lebih tinggi. Lantas, apa itu hustle culture?

Hustle Culture = Workaholism

Tren Hustle Culture semakin marak terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Hustle Culture dapat dimaknai sebagai kondisi di mana seseorang mendorong diri sendiri untuk melampaui batas kemampuan dalam bekerja hingga melupakan diri dan gaya hidupnya sendiri. Hustle Culture telah menodai dan merasuki masyarakat modern pada era masa kini. Ini menjadi sebuah kebiasaan yang lazim kita temukan, khususnya para pekerja yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi pasar perekonomian. Perusahaan tidak mau rugi, itulah sebabnya mereka mempekerjakan para pekerjanya hingga melampaui batas wajar.

Bayangkan demikian, ketika anda adalah seseorang dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Mau tidak mau, anda harus bekerja dengan lebih ekstra demi mendapatkan pundi-pundi uang untuk menafkahi kehidupan. Dalam rentan waktu satu minggu, banyak pekerja yang bekerja sampai dengan di atas 45 jam. Padahal idealnya jam kerja seharusnya tidak dilakukan lebih dari 40 jam. Itulah realita yang menjebak banyak orang pada masa kini. Banyak orang berpikir bahwa dengan bekerja sampai dengan larut hingga bahkan tidak pulang ke rumah (lembur), dirinya akan mendapatkan lebih banyak uang. Di satu sisi memang benar, terkadang lembur hingga larut malam membuahkan hasil yang lebih banyak daripada bekerja sesuai jam normal. Tetapi di lain sisi, tubuh, pikiran, dan mental justru yang terbebani. Efek dari hustle culture mungkin tidak terasa dalam jangka pendek, tetapi jika terus-menerus dilakukan akan menyebabkan dampak yang buruk, bahkan lebih daripada yang diperkirakan. Glorifikasi tren hustle culture dan ideologinya telah merasuki banyak orang untuk percaya bahwa ini adalah yang mereka inginkan dan impikan. Sejak awal 1900–2000an, tren ini telah menjamur dan menyebabkan masyarakat dunia percaya bahwa kesuksesan dibangun dengan kerja keras yang bahkan melampaui batas. Tetapi di sisi lain, mereka lupa bahwa apa yang dikerjakan juga merusak mental dan pikiran. Kecenderungan kerusakan mental dan psikis semakin terlihat dengan adanya tren hustle culture. Bagaimana tidak, masyarakat global masa kini lebih cenderung untuk mendapatkan gangguan mental seperti depresi dan rasa cemas berlebih (anxiety). Hal ini menyebabkan kinerja menjadi tidak maksimal, dan sering menimbulkan efek selanjutnya yaitu burnout. 

Burnout adalah suatu kondisi di mana seseorang merasa kelelahan fisik dan mental sehingga mengalami penurunan kinerja dan motivasi. Salah satu penyebabnya adalah bekerja terlalu banyak atau overworking. Para pekerja masa kini lebih rentan dan mudah terkena kondisi ini. Bagaimana tidak, banyak perusahaan telah menetapkan standar kerja yang tidak masuk akal demi meraup pundi-pundi keuntungan hasil dari jerih payah pekerja mereka. Mereka percaya bahwa dengan sistem meritokrasi yang ditawarkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja, akan mendorong mereka ke jabatan atau pendapatan yang lebih tinggi. Ini adalah bentuk dari perbudakan modern yang dikemas dalam tipu daya untuk mengelabui umat manusia yang tak berdaya akibat dipaksa oleh kondisi sosial dan ekonomi.

Lantas apa yang bisa dilakukan?

Generasi Milenial dan Generasi Z masa kini telah mengedepankan suatu prinsip keseimbangan. Prinsip itu adalah work life balance yang setidaknya memberikan jalan keluar dari jebakan hustle culture di dunia kerja pada masa kini. Work life balance adalah kemampuan seseorang untuk bisa mengatur dan membagi waktu dan energinya dengan baik dan seimbang, antara kehidupan bekerja dan pribadi dengan baik. Kemampuan ini mendorong pribadi untuk tidak hanya berfokus pada pekerjaan yang dilakukan, tetapi juga tentang kebutuhan pribadi hingga kepada aspek-aspek dasar seperti bersosialisasi, berekreasi, dan yang paling terpenting adalah beristirahat. Work life balance menjadi penting bagi para pekerja masa kini untuk mencegah dampak buruk dari hustle culture yaitu burnout. Dengan mengedepankan prinsip tersebut, masyarakat dunia perlahan-lahan bisa sadar dan keluar dari jebakan maut dunia kerja yang merusak pribadi seseorang. Selain itu, prinsip work life balance digunakan sebagai upaya preventif untuk mencegah stres dan mengelola emosi seseorang agar bisa tetap produktif dalam ranah yang sehat dan sewajarnya. Itulah mengapa generasi masa kini cenderung lebih menginginkan pekerjaan dengan jam kerja yang fleksibel atau bisa disebut sebagai seorang freelancer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun