Mohon tunggu...
Antonius Nesi
Antonius Nesi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penulis adalah alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; Dosen Unika St Paulus Ruteng, Flores, NTT; Saat ini sedang menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Homo Sapiens dan Watak Berbahasa

28 Oktober 2016   00:25 Diperbarui: 28 Oktober 2016   00:39 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sementara itu, tuturan pelayan registrasi e-KTP memiliki kadar kesantunan yang kurang santun. Alih-alih sang terlayan sangat membutuhkan e-KTP karena semua berkas mulai dari RT sampai Kecamatan telah lengkap sehingga ia membalas sang pelayan: “Tolong, Bu, saya sangat butuh bantuan, e-KTP harus saya gunakan besok untuk melengkapi dokumen data diri yang diwajibkan kantor”. Si pelayan lantas berkilah: “Kamu pikir saya tidak sibuk, datang lagi besok!” (intonasi lebih tinggi dan gesture yang kurang bersahabat).

Di situ tampak jelas bahwa pernyataan-pernyataan si pelayan sama sekali tidak mencerminkan watak berbahasa santun. Dari segi diksi dan gaya bahasa yang digunakannya segera dapat disimpulkan bahwa kemampuan berbahasa dan kompetensi komunikatif pribadi bersangkutan masih sangat kurang memadai. Padahal, sudah semestinya seorang pelayan publik memiliki kecakapan otak dan wibawa berekspresi yang sebanding adil dengan seragam dinas yang dikenakannya.

Tuturan-tuturan yang telah dideskripsikan di atas hanyalah sampel dari tuturan-tuturan yang memiliki kadar kesantunan santun dan kurang santun. Bahwa masih ditemukan praktik berbahasa yang kurang santun atau sangat tidak santun dalam konteks kehidupan bermasyarakat (pelayanan publik), itu disebabkan orang kurang memperhatikan dirinya dan bagaimana konteks yang melatarbelakangi tuturannya. Tentang hal itu, saran kita konkret. Pertama,mesti ada pembinaan terus-menerus dari atasan kepada bawahan perihal berbahasa santun. Bila perlu dibuat suatu bimtek atau diklat khusus terkait kesantunan berbahasa. Kedua,lembaga-lembaga pendidikan mesti memikirkan secara serius integrasi kesantunan berbahasa dalam pembelajaran bahasa (pendidikan karakter berbahasa). 

Sesungguhnya, berbahasa secara santun bukan sekadar karena penutur ingin menjaga perasaan mitra tuturnya. Lebih jauh dari itu, seorang penutur dapat berbahasa santun karena ia sendiri ingin menjaga martabat dirinya sebagai pribadi yang "cerdas dan bijaksana". Itulah esensi watak berbahasa yang sesungguhnya. Kelak, generasi seribu tahun yang akan datang dapat boleh saja menyandangkan predikat “manusia paling cerdas dan bijaksana” untuk kita yang di hidup di zaman kontemporer ini.* 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun