Kalimat “Keep books on hand at all times” kudapati di saat membaca tulisan Jean Barman, seorang psikoterapis asal Los Angeles tentang hal yang harus diperhatikan untuk memupuk antusisame membaca.
Suatu sore hujan lebat dan angin kencang menyelimuti seluruh wilayah Jakarta.Selesai mengajar pada salah satu kampus di bilangan Kebon Jeruk, pukul 05.15 sore, hujan belum juga reda sedari siang tadi. Untuk memastikan apakah di rumah hujan lebat, kuraih telepon genggamku, ku-dial contact nama “Mama”, sekejab satu nada tunggu di kejauhan terdengar “Assalamualaikum, Papa dimana sekarang?” kujawab, “Waalaikumsalam” langsung saja kutanya, “Ma, hujankah di rumah?” “Ia Pa” Jawabnya.“Baiklah, papa segera pulang, di sini juga hujan lebat sekali, sampai ketemu ya Ma” suaraku setinggi gemuruhnya suara hujan menjatuhi atap-atap kelas kampusku.“Baik Pa, hati-hati di jalan”, Suaranya mengakhiri pembicaraan.
Tetap kuteguhkan niat untuk segera pulang, walau genangan air masih setinggi tumit kakiku di pelataran parkir kampus.
Kuarahkan kendaraan menuju Tol Kebon Jeruk—Dalam Kota, namun ketika akan memasuki pintu Tol Kebon Jeruk, terlihat antrean yang panjang sekali.Menyadari bahwa terjadi kemacetan panjang di ruas tol, kubanting stir ke arah Jalan Arjuna Selatanmerayapi pinggiran ruas tol berharap tidak terjadi kemacetan, namuntetap saja kemacetan terjadi.
Baru saja menempuh jarak puluhan meter, terlihat seorang pengendara motor melambaikan tangannya mengisyaratkan untuk pengendar mobil agar memutar kendaraannya, sambari berteriak, “Putar arah saja, banjir, banjir, banjir....”Dengan sigap kuputar kendaraan berbalik arah ke Jalan Arteri Panjang Kebon Jeruk menuju arah Permata Hijau.Tetap saja kemacetan terjadi mengular panjang.Bersabar kuikuti antrean panjang kemacetan.Sudah lebih satu jam, namun jarak tempuh tak lebih dua kilo meter.
Kulihat jam di dasbor, pukul 6 lewat 30 sore, kusadari aku belum menunaikan kewajiban salat Magrib.Terbayang rumah di Bekasi, yang jika terus terjebak kemacetan, mungkin akan tiba di rumah tengah malam, padahal aku ingin segera pulang dan berkumpul dengan keluarga di rumah.Setelah melewati pertigaan Relasi, terlihat SPBU Pertamina, akhirnya lega rasanya dapat menunaikan salat Magrib pada waktunya.Kubasuh wajah dengan air wudhu, begitu menyegarkan, Ia, menyapu ketegangan wajahku menghadapi kemacetan tak berujung.Kuniatkan salat Magrib, sembari berdoa agar kemacetan segera terurai.
Suasana SPBU yang menyediakan tempat salat, mini market dan tempat beristirahat seperti kafe.Kuputuskan untuk beristirahat sejenak sampai kemacetan benar-benar terurai.Suasana kafe yang terbilang nyaman di lantai 2 mengusik inginku untuk sekedar ngopi.Pilihanku jatuh kepada kopi hitam klasik dan sebungkus roti sebagai penganjal perut.Menunggu waktu!
Lantai satu gedung itu adalah minimarket, sebagian besar produknya adalah makanan dan minuman, dan di lantai duanya kafe yang bersebelahan dengan restroom dan mushala kecil terlihat tampak nyaman.Beberapa meja terisi sekelompok orang yang mungkin sedang menunggu hujan reda, atau baru saja menunaikan salat magrib, atau hanya sekedar nongkrong.Sebagian besar mereka adalah anak-anak muda yang asik bercengkrama, ya, mungkin hanya “membunuh waktu.”
Teringat di dalam mobil aku membawa beberapa buku novel dan cerpen.Inginku membaca buku sembari menunggu kemacetan berakhir. Kembali ke parkiran mobil dan meraih dua buah buku dan kubawa kembali ke lantai dua.Pilihanku jatuh pada buku karya Dewi ‘Dee” Lestari, “Madre”, sebuah novel yang sarat makna pembelajaran tentang jiwa-jiwa entreprenuer muda: Tungsen dan Mei, untuk membesarkan toko roti “Tan de Bekker” yang sudah mati suri. Seperti apa yang disampaikan Sitok Srengenge dalam buku ini, “Madre bukanlah sekedar cerita tentang perjuangan tokoh demi membangkitkan kembali pabrik roti yang mati suri.” Namun juga kita bisa belajar memaknai keberagaman dan keberbedaan sesama.“Menghargai keragaman dan menghormati perbedaan adalah keniscayaan yang berakar kuat dalam ranah sejarah, bisa menjadi modal amat berharga bagi upaya perwujudan hidup yang kaya dan indah.”
Buku Madre inilah yang menemaniku selama 2 jam untuk menunggu akhir kemacetan jalan. Kulihat jam di tangan, pukul 9 malam lewat, ku tenggok ke arah jalan Arteri Panjang Kebon Jeruk, mobil dan motor mulai berkurang, jalan mulai sedikit lengang.Kuputuskan untuk kembali pulang setelah “bercengkrama” denga bacaan Madre yang menemanikku menunggu kemacetan tersebut.Buku adalah sahabat yang menemaniku dalam kesulitan dan buku jugalah sebagai penasihat terbaik, mampumembisikan nilai-nilai luhur sarat makna.
Bawalah buku kemanapun Anda berada.Jadikan buku sebagai teman dalam kesepian, sahabat yang menyenangkan, dan pelipur dalam kesendirian.Bawalah satu sampai dua buah buku di dalam tas kerja kemanapun kita berpergian untuk jangka waktu yang lama. Sehingga di sela-sela waktu yang kosong, kita bisa membacanya kembali.
Penulis adalah Penulis Buku Be A Writer (Gramedia Pustaka, 2012); Demi Waktu: So Use Your Time Effectively (Gramedia, 2012), dan Bacaan Wajib Semua Sales (Visimedia, 2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H