Pendahuluan
Sungai Opak merupakan salah satu sungai yang terletak di Yogyakarta dan mengalir dari mata air Gunung Merapi kemudian mengalir ke wilayah Kabupaten Sleman dan Bantul serta berakhir di laut selatan pulau Jawa khususnya Yogyakarta. Hulu Sungai Opak berada di Kecamatan Sleman, Kecamatan Cangkringan sedangkan bagian hilirnya berada di Kabupaten Srigading (Wardhana, 2015). Sejauh ini, Sungai Opak telah dimanfaatkan sebagai sumber pengairan perkebunan, irigasi lahan sawah, perikanan, serta penambangan pasir. Hal tersebut berkaitan dengan Peraturan Gubernur DIY No. 20 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa Sungai Opak sesuai peruntukannya dikelompokkan ke dalam sungai kelas I dan kelas II.
Sumber dan Distribusi Pencemar
Sungai Opak mulai terancam kualitas badan airnya akibat adanya cemaran kromium yang disebabkan oleh beberapa faktor (sumber). Kromium berasal dari Bahasa Yunani "Chroma" yang artinya "warna" dan merupakan salah satu unsur logam berat yang termasuk ke dalam golongan transisi. Berdasarkan struktur kimianya, krom dilambangkan dengan simbol "Cr". Pada umumnya, logam berat kromium dapat masuk ke dalam semua komponen penyusun lingkungan seperti perairan, tanah, maupun udara (lapisan atmosfir). Sumber cemaran kromium yang berpotensi mendegradasi lingkungan dapat berasal dari kegiatan perindustrian seperti industri pabrik semen, baterai, cat, fotografi, pelapisan listrik, ruamh tangga, pertanian, pertambangan, perikanan, pariwisata, penyamakan kulit, serta hasil dari pembakaran dan mobilisasi bahan-bahan bakar (Palar, 1994 ; Nair & Kurian, 2018). Logam berat kromium bersifat sukar atau tidak mudah terurai di alam serta bersifat karsinogenik (Agustina et al., 2018). Cemaran kromium di Sungai Opak sebagian besar bersumber dari aktivitas manusia, yaitu bidang industri penyamakan kulit serta air lindi (leachate) yang berasal dari TPA Piyungan yang letaknya berada di sekitar Sungai Opak. Industri penyamakan kulit merupakan salah satu jenis industri yang selama proses produksinya masih banyak menggunakan air dan beberapa cairan kimia, seperti garam krom (III) dan senyawa sulfur (Zaenab, 2008). Sedangkan air lindi merupakan hasil infiltrasi air hujan yang masuk ke dalam timbunan sampah. Kandungan air lindi ini dapat mencemari lingkungan sekitar karena sifatnya yang toksik (Siswoyo & Habibi, 2018) melalui kontaminasi badan tanah, air tanah, hingga air sungai (Arbi & Siregar, 2018). Pada akhirnya, distribusi penyebaran logam berat kromium terdapat dihampir semua komponen lingkungan desa Banyakan seperti air (1,538 mg/L), sedimen (68,85 mg/kg), tanah (1,582 mg/kg), air tanah dangkal (0,352 mg/L), tanaman (14,870 mg/kg), serta hewan akuatik (9,269 mg/kg) (Gambar 1). Kondisi tersebut menempatkan lingkungan dan masyarakat pada posisi yang rentan terpapar cemaran hingga konsekuensi dampak kesehatan akibat hasil keluaran limbah yang belum dikelola dengan baik.
Data Sebaran Kromium (Cr) Berdasarkan Studi Literatur
Meluasnya pola distribusi cemaran kromium pastinya menjadi ancaman potensial bagi lingkungan, usaha pertanian, perikanan, hingga kesehatan masyarakat di sekitar kawasan industri. Kromium tidak dapat didegradasi di dalam tubuh sehingga terakumulasi di dalam tubuh organisme. Akumulasi kromium berlebih di dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan seperti asma, bronchitis, iritasi paru-paru sebagai akibat dari menghirup logam berat kromium (Cr) dalam jangka panjang. Selain itu, menurut Asmadi et al (2018), cemaran kromium (Cr) yang kontak langsung dengan kulit dapat menyebabkan penyakit dermatitis dan kanker. Bukti spesifik adanya bahan pencemar kromium di Sungai Opak diperkuat melalui penelitian tugas akhir Fadilla (2022).
Dampak Terhadap Lingkungan
Cemaran kromium di dalam badan air Sungai Opak tentu saja menyebabkan kondisi lingkungan sekitar menjadi terganggu. Pencemaran air sungai yang disebabkan oleh logam berat kromium (Cr) ini berupa penurunan kualitas air sungai dan membahayakan lingkungan serta biota yang hidup di sungai tersebut. Hal tersebut sebagai akibat dari sifat logam berat kromium yang karsinogenik, bioakumulatif, biomagnifikasi, dan toksik sehingga berpotensi menyebabkan keracunan akut hingga kematian biota yang hidup di sungai apabila jumlahnya overdose. Selain itu, kandungan kromium ini juga dapat menyebabkan kualitas dan ketahanan pangan di kawasan sekitar aliran Sungai Opak menjadi menurun. Dibuktikan melalui penelitian Rahardjo dan Prasetyaningsih (2021) melalui hasil data kisaran dan rerata konsentrasi kromium pada berbagai komponen lingkungan termasuk bahan pangan seperti padi dan ikan yang nantinya akan dikonsumsi oleh manusia. Badriyah et al (2017) melakukan penelitian tentang efek kromium (IV) pada hati dan insang ikan nila. Di sisi lain, kromium juga dapat terakumulasi pada ikan guppy dan menyebabkan kematian. Nair dan Kurian (2018) melakukan penelitian terkait akumulasi dan toksisitas kromium dalam limbah penyamakan kulit pada ikan guppy dan hasil penelitian menunjukkan akumulasi kromium pada ikan guppy. Kromium (VI) pada konsentrasi rendah diketahui mampu merusak berbagai organ ikan seperti paru-paru, hati, dan ginjal. Berdasarkan hasil penelitian Rahardjo dan Prasetyaningsih (2021), ditemukan akumulasi kromium pada komponen lingkungan dari yang paling tinggi ke paling rendah secara berturut-turut, yaitu sedimen sungai, padi, tanah sawah, moluska, ikan, hingga air irigasi, air sumur, dan urine.
Pentingnya Biomonitoring dan Strategi Pengelolaan Lingkungan