Mohon tunggu...
antonetta maryanti
antonetta maryanti Mohon Tunggu... -

i was just learning to write...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tertawa Itu Sehat, Lebih-lebih Jika Kita Mentertawakan Diri Sendiri

31 Maret 2010   04:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:05 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya membaca kata-kata itu dan menjadikan status saya di jaringan social di network, facebook. Apa reaksi teman-teman? Ada yang memberikan dua jempol dan juga ada yang mengatakan saya gila karena mentertawakan diri saya sendiri.

Dan saya hanyatersenyum. Sebegitu dangkalkah pikiran kawan-kawan yang mengatakan bahwa saya bisa gila jika mentertawakan diri sendiri? Dan teman-teman yang memberikan dua jempol tanpa meninggalkan komen, saya tahu mereka sependapat dan mereka mengerti arti yang terkandung dari kalimat itu. Dan saya yakin bahwa mereka pun sudah mentertawakan diri mereka sendiri.

Lebih-lebih jika kita mentertawakan diri kita sendiri, kalimat ini tidak berarti bahwa kita bertingkah gila, berbuat sesuatu untuk menarik perhatian dan menjadi bahan tawa bagi sekitar kita dan diri kita.

Yang saya maksud dari kalimat tersebut adalah lebih ke refleksi dari kehidupan saya. Karena saya sering sekali melakukan hal ini. Dan ini membantu saya untuk lebih mengenal hidup saya, apa yang sudah saya perbuat di masa lalu, apa yang sedang saya lakukan sekarang yang pastinya akan menentukan hidup saya dimasa datang.

Terjaga di malam sepi sementara yang lain sudah terbuai dengan mimpi panjang, bayangan-bayangan masa lalu, waktu yang terbuang, uang yang terbuang, kegilaan, nafsu, kenikmatan semua yang pernah saya rasakan di masa lalu dan berbuahkan kegagalan, karena buah yang belum matang akan pahit rasanya.

Tertawa, mentertawakan diri sendiri, terbahak-bahak dalam hati hingga tak sadar air mata pun jatuh, air mata penyesalan. Sekali saya menyeka air mata itu, maka semua penyesalan itu pun kering, dan berganti seraut wajah yang sedang belajar tersenyum. Tak ada gunanya aku menyesal, dalam tawa itu aku melepaskan semua kepahitan, semua kenangan indah, juga cita-cita yang tercerai berai.

Semua itu hanyalah masa lalu, dan saya mencoba untuk merangkai kembali, puing-puing hidup saya, yang tercerai berai menjadi satu bingkai yang berhiaskan retak disana dan disini. Dan saya yakin bahwa seiring berjalan waktu, dengan perjuangan yang tak pernah henti dan tak kenal putus asa, retak itu akan memuluskan dirinya sendiri dan membentuk bingkai kepribadian, yang mandiri, dewasa, bijaksana dan beriman akan Dia.

Dan saya akan terus mentertawakan diri saya bersama semesta, hanya dengan cara itu saja saya bisa melepaskan semua duka, kesalahan masa lalu untuk bisa bangkit berdiri. Menjadi pribadi yang lebih baik di hari kemarin, yang lebih beriman dan juga lebih bijaksana.

Tertawa itu sehat,bukan? Lebih sehat lagi jika kita bisa mentertawakan diri kita….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun