Mohon tunggu...
Anton Agus Setyawan
Anton Agus Setyawan Mohon Tunggu... -

Saya adalah peneliti dengan minat diskusi pada masalah-masalah ekonomi, bisnis, sosial dan politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Video Porno, Moralitas dan Destruksi Sistem Sosial

12 Juni 2010   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:35 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Heboh video porno yang "dibintangi" okum-oknum mirip artis mengundang keprihatinan kita semua. Perbuatan tersebut tidak bisa ditolerir dari sisi manapun, baik sosial, moralitas dan keagamaan. Skandal ini menjadi cerminan betapa kebobrokan sistem sosial Indonesia modern sudah demikian parah, sehingga para "bintang" tersebut lepas dari jeratan hukum, karena alasan pembuatan video porno itu "hanya" untuk koleksi pribadi. Kasus ini hanya "puncak gunung es" dari dekadensi moral yang melanda masyarakat kita. Perzinaan tersebut adalah cerminan dari sisi buram masyarakat kelas menengah Indonesia yang begitu permisif terhadap penyimpangan. Ironisnya, kasus ini ramai dibicarakan bukan karena keprihatinan kita namun karena rasa penasaran untuk melihat aksi kedua sejoli lain jenis tersebut.

Artikel ini akan mencoba membahas implikasi sistem sosial yang telah terkontaminasi oleh efek negatif kebebasan terhadap kualitas hidup fisik dan spiritual masyarakat. Untuk membahas hal ini terlebih dahulu harus ada pertanyaan dasar dari kita, apakah ada relevansinya mendiskusikan implikasi penyebaran video porno dengan rusaknya sistem sosial sebuah negara ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus ada asumsi dasar bahwa video porno bukan suatu masalah yang berdiri sendiri, dia adalah efek negatif dari westernisasi. Ironisnya masyarakat Indonesia yang mempunyai budaya luhur dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama ternyata mulai menjadi konsumen sekaligus produsen dari berbagai penyimpangan tersebut.

Moralitas : Filter Atau Topeng Hipokrit ?

Penghambaan terhadap budaya western, terjadi bersamaan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Strategi pembangunan hanya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi dan ini berarti akumulasi modal harus diperoleh dengan cara apapun. Kesejahteraan rakyat secara fisik memang akhirnya diperoleh (meskipun dengan kesenjangan pendapatan yang luar biasa),dan hal ini mengakibatkan perbaikan fisik di semua aspek kehidupan, ekonomi, sosial dan politik. Akibat orientasi pembangunan masyarakat hanya berdasarkan parameter tingginya PDB, rendahnya pengangguran, tingginya angka investasi dan berbagai kesejahteraan fisik lainnya, pengukuran kesejahteraan masyarakat hanya berdasarkan aspek fisik pula. Rupanya masyarakat Indonesia tidak mampu memanfaatkan kesejahteraan fisik mereka untuk sejahtera secara sosial. Sehingga kemakmuran fisik dibarengi dengan menurunnya kualitas moral. Sebagai buktinya, kemakmuran Indonesia di masa Orde Baru melahirkan sistem ekonomi crony-capitalism yang menjijikkan (Kian Gie, 1999). Masa tersebut adalah masa dimana KKN mulai menjadi "budaya baru" yang terus dipelihara sampai sekarang. Contoh lainnya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Rahman (2000) terungkap bahwa jumlah remaja yang melakukan hubungan seks pra-nikah terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak dekade 70-an (ingat pada dekade tersebut adalah titik awal keberhasilan pembangunan fisik di Indonesia).

Nilai-nilai moral yang selalu diagung-agungkan ternyata hanya menarik untuk jadi "hiasan" kata-kata, sementara prakteknya nol besar. Selama ini selalu ada ungkapan bahwa moralitas masyarakat Indonesia harus mampu menyaring pengaruh negatif dari budaya barat, pada prakteknya moralitas adalah "topeng" yang selalu kita kenakan untuk menutupi kesalahan kita. Masyarakat Indonesia identik dengan budaya paternalistik sehingga untuk menanamkan nilai-nilai moral harus ada pemimpin yang memberikan tauladan. Saat ini pemimpin bangsa sekalipun tidak ada yang mampu menjadikan moralitas sebagai pegangan hidup mereka. Perilaku hipokrit pemimpin bangsa adalah wajah yang hampir setiap hari kita jumpai.

Bahaya Destruksi Sistem Sosial


Seks bebas, kecanduan obat terlarang, perilaku sosial menyimpang, korupsi, kolusi dan nepotisme adalah gejala destruksi sistem sosial masyarakat Indonesia. Bahkan, apabila kita renungkan secara mendalam faktor utama kesulitan kita untuk bangkit dari krisis ekonomi adalah menurunnya kualitas moral bangsa ini. Apabila hal ini tidak segera diatasi, bangsa Indonesia akan masuk ke dalam jurang krisis multidimensi yang lebih dalam. Sistem sosial Indonesia yang telah terkontaminasi oleh liberalisme a la barat sudah seharusnya diperbaiki. Namun, untuk memulainya bukan hal yang mudah, karena hal ini menyangkut mengubah pandangan masyarakat Indonesia yang terlanjur "tercemari" nilai-nilai budaya yang salah. Proses transformasi budaya liberalisme menuju pada budaya dasar Indonesia harus dibarengi dengan political will rezim berkuasa. Hal ini dikarenakan pemimpin bangsa mempunyai akses politik yang paling besar dalam perbaikan sistem sosial di Indonesia.

Perbaikan pertama yang harus dilakukan adalah perbaikan sistem politik. Demokrasi Indonesia haruslah demokrasi yang mengutamakan nilai-nilai kebenaran, daripada acuan kepada suara mayoritas. Seperti sistem demokrasi di negara-negara demokratis lainnya, sistem demokrasi di Indonesia adalah demokrasi perwakilan Asumsi dasar dari sistem demokrasi perwakilan menurut Schumpeter dan Downs adalah bahwa rakyat dan wakil-wakilnya bertindak secara rasional yang didasarkan pada kepentingan pribadi mereka (Guritno, 1999). Padahal belum tentu kepentingan-kepentingan pribadi tersebut (yang sering merupakan suara mayoritas) adalah suara kebenaran.

Kedua, melakukan reformasi di dunia pendidikan. Pendidikan di Indonesia mulai bergeser orientasinya, dari transfer ilmu dan moralitas agama menjadi pemenuhan terhadap permintaan pasar (Kuntowidjojo, 1991). Apabila wacana pendidikan yang seharusnya idealisme berubah menjadi pragmatisme, maka kita akan membentuk intelektual-intelektual yang "kering" hatinya dan berpotensi melakukan penyimpangan. Ketiga, re-orientasi kebijakan pembangunan. Strategi pembangunan yang harus dipilih oleh pemerintah adalah strategi pembangunan yang people oriented dan menjamin kebebasan akses ekonomi oleh siapapun selama berada di dalam koridor hukum dan peraturan.

Penutup

Perbaikan sistem sosial jelas bukan pekerjaan mudah, bahkan terkadang akan dikritik sebagai utopia . Namun, kenyataan berbicara lain. Indonesia selain berada di ujung kebangkrutan ekonomi ternyata juga mengalami destruksi sistem sosial yang parah. Hal ini ditandai dengan makin melunturnya nilai-nilai moral di dalam masyarakat yang direpresentasikan dengan perilaku seks bebas, konsumsi obat terlarang, pelecehan hukum dan berbagai tindakan destruktif lainnya. Untuk memperbaiki sistem sosial dibutuhkan perbaikan komprehensif dan memakan waktu lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun