Sebentar lagi tanggal 1 Juni berarti Hari Bhayangkara atau ulang tahun POLRI, sebuah lembaga yang dibenci tapi dicintai oleh masyarakat. Saya tidak akan menulis yang serius tentang POLRI tetapi sisi lain dari anggota POLRI yang mungkin aneh atau lucu. Cerita yang saya tulis ini benar-benar terjadi pada pertengahan tahun 1970-an, pelakunya adalah bapak saya sendiri AKP (Purn) Kartimin karena beliau andalah anggota POLRI yang selama kariernya dihabiskan di satuan BRIMOB dan Reserse Kriminal. Bapak saya cuma polisi rendahan (beliau masuk dari tamtama POLRI yang sekarang sudah tidak ada, dan pensiun dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi atau setara Kapten di TNI) jadi banyak punya pengalaman lapangan yang full action tapi terkadang juga lucu, seperti kejadian yang saya tulis ini.
Pada pertengahan tahun 1970-an (mungkin sekitar tahun 1976) dari penuturan bapak saya, ada rangkaian kasus pencurian di Solo dengan nilai yang cukup besar. Si pencuri ini tidak masuk ke rumah penduduk tapi khusus mencuri di gudang pabrik dan toko, toko dan juga apotek. Nilai yang dicuri sampai ratusan ribu dan jutaan Rupiah. Jumlah ini sangat besar untuk tahun 1976. Rangkaian pencurian sudah terjadi selama 1 bulan terakhir dan bapak saya ditugasi Kasatreskrim Polres Solo (waktu itu belum jadi Polrestabes) untuk mengungkap kasus ini. Bapak saya mencari informasi dengan menemui para informannya dan juga nongkrong di tempat tukang tadah (istilah populernya nyanggong) untuk mencari aliran barang curian. Prosedur ini teknik dasar polisi untuk mengungkap kasus pencurian. Hasilnya nihil.....
Suatu hari, ada residivis yang datang ke rumah sehabis keluar dari penjara. Jangan salah mengira, rumah saya dulu selalu dikunjugi residivis yang keluar penjara, bukan mau balas dendam tapi minta ongkos, baju atau beras untuk pulang ke rumah mereka. Mereka sebagian jadi informan bapak saya. Residivis satu ini cerita pada bapak saya dia sakit hati dengan salah satu penjahat bernama Slamet Croet karena tidak diajak dalam "proyek"nya yaitu pencurian kelas kakap. Sakit hatinya kemudian dilampiaskan dengan memberi info pada bapak saya tentang rencana pencurian selanjutnya, yaitu mencuri di sebuah apotek besar di Solo yang letaknya di sekitar Benteng Mangkunegaran. Detail jam, cara masuk dan kendaraan yang akan digunakan diceritakan pada bapak saya. Selanjutnya, residivis ini minta imbalan berupa baju bekas (murah sekali ya..).
Berdasarkan info itu, bapak saya dan partnernya Pak Iskandar (alm) menuju lokasi pada waktu yang ditentukan. Jam 9 malam bapak saya dan pak Iskandar menyamar sebagai gelandangan dan tidur di emperan toko seberang apotek yang menjadi sasaran pencurian. Tepat jam 12 sesuai dengan info, sebuah mobil pick up berhenti di depan apotek. Pada saat itu jam 12 malam sudah sangat sepi dan pencuri ini menyamar sebagai pemasok obat. Bapak saya dan Pak Iskandar hanya mengawasi. Si pencuri yaitu Pak Slamet Croet ini kemudin menggunting rantai gembok apotek dan mulai masuk. Selanjutnya Slamet Croet yang ternyata hanya sendirian ini mulai beraksi mencuri obat-obatan dan dimasukkan ke mobil angkutnya. Aksinya berlangsung selama 1 jam, sampai mobil itu sudah hampir penuh. Pada saat terakhir mengangkut curian dari apotek ke mobil, bapak saya masuk ke dalam apotek dan melihat Pak Slamet Croet sedang mengangkut barang terakhir. Bapak saya sudah pernah menangkap Slamet Croet ini beberapa tahun lalu jadi sudah kenal dengan kebiasaanya. Ia pencuri yang lihai dan licin tetapi tidak pernah melawan petugas. Bapak saya kemudian menyapa dengan bahasa Jawa "Lagi ngopo Met?" (Lagi ngapain Met). Pak Slamet Croet yang masih mengangkat barang curian pucat tetapi sempat menjawab "Nggih niki pak, nembe nyambut damel." (ya begini pak lagi bekerja). Terus bapak saya bertanya lagi "Lha kuwi obat arep mbok gowo ning endi?" (Obat-obat itu mau kamu bawa kemana). Pak Slamet menjawab lagi "Nggih manut bapak mawon." (ya ikut bapak saja). Bapak saya kemudian berkata "Yo wis ayo digowo ning Polres nggo barang bukti." (Ayo dibawa ke Polres untuk barang bukti). Pak Slamet pun patuh dan membawa barang terakhir ke mobil. Selanjutnya bapak saya, pak Iskandar dan Pak Slamet dengan mobil yang membawa obat2an itu meluncur ke Polres yang waktu itu masih berlokasi di Banjarsari (sekarang Markas Den C Pelopor Brimob Solo).
Dalam perjalanan, pak Slamet sempat berkata pada bapak dan Pak Iskandar bahwa dia rugi besar karena harus menyewa mobil dan tidak sempat menikmati hasil kejahatannya. Bapak saya hanya menahan tawa mendengar keluhan ini. Dalam pemeriksaan pun Pak Slamet sangat kooperatif sampai-sampai ia mengisi sendiri formulir BAP-nya pada saat menceritakan kronologi kejahatannya. Di akhir pemeriksaan bapak saya bertanya pada pak Slamet kenapa dalam setiap penangkapan tidak pernah melawan petugas. Ia kemudian menjawab "Pak kulo gadhah prinsip, kulo maling nggih gaweyane nyolong, bapak polisi nggih gaweyane nyekel penjahat, lha yen kulo pun konangan nggih kulo manut mawon wong nyolong niku salah kok." (Pak saya punya prinsip, saya pencuri ya kerjaannya mencuri, bapak polisi ya kerjaannya menangkap penjahat, kalo saya ketahuan ya saya patuh saja kan saya salah). Selanjutnya pak Slamet ini tetap menekuni pekerjaannya sebagai pencuri sampai insyaf di tahun 90-an, tetapi selama "karier"nya sebagai pencuri dikenal sebagai penjahat yang kooperatif ketika ditangkap......Benar-benar penjahat profesional.....he...he...
Dirgahayu Polri....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H