Pencapresan Jokowi oleh PDIP dan empat partai pendukung lainnya nampaknya memang harus dicegah dengan satu dan lain cara, apa pun juga. Upaya-upaya pencegahan yang dilakukan oleh lawan politik Jokowi tak perlu dibahas lagi karena sudah sangat banyak dibicarakan. Motif yang mendasari perang habis-habisan terhadap Jokowi juga sudah sangat jelas, yakni memenangkan Prabowo untuk menjadi presiden berikutnya. Meskipun demikian, sebuah konstruksi terkait dengan alasan-alasan apa saja yang bisa memperkuat motif untuk menolak Jokowi (dan sebagai akibatnya memenangkan Prabowo) untuk menjadi presiden masih tersisa untuk dibicarakan. Konstruksi ini berpilar pada empat kekeliruan fatal pencapresan Jokowi.
Kekeliruan pertama, karena kualitas dan karakter kepribadian yang dimiliki, figur Jokowi terlalu cepat melesat dari seorang pengusaha mebel, menjadi walikota dan terakhir menjadi gubernur di provinsi yang paling prestisius, DKI Jakarta. Ia mengalahkan Foke yang incumbent Gubernur DKI, pejabat karir di pemrov DKI. Keberhasilannya memimpin Solo menyebabkan masyarakat Jakarta memiliki harapan besar agar ia dapat membenahi ibukota. Ada kemungkinan Jokowi akan memiliki peluang keterpilihan yang sama seperti sebelum-sebelumnya, bukan karena sekedar popularitasnya, tapi karena keberhasilannya. Penghancuran Jokowi terkait dengan kekeliruan pertama ini mudah saja. Harus ditemukan sejumlah kekurangan semasa ia memimpin Solo dan Jakarta. Kekurangan-kekurangan minor (yang pasti akan ditemukan pada setiap pemimpin, karena pemimpin juga manusia yang tak sempurna) itu dijadikan bahan publikasi intensif melebihi keberhasilan-keberhasilannya.
Kekeliruan kedua, Jokowi adalah seorang kader partai yang selalu berhasil menjalankan amanat partai yang diberikan kepadanya. Maju sebagai walikota Solo adalah amanat partai, bukan karena ambisi pribadinya. Demikian juga ketika ia maju sebagai gubernur DKI. Dalam dua preseden itu, aspirasi partai dan aspirasi masyarakat pemilihnya selalu klop. Ia memenuhi amanat yang diberikan oleh partai, dan pada saat yang sama juga memenuhi amanat yang diberikan oleh para pemilihnya. Potensi ke-klop- an besar terjadi pada konteks pilpres. Oleh karenanya Jokowi harus dihancurkan melalui character assassination dengan menuduhnya tukang tipu, menghianati sumpah jabatan, atau lari dari tanggung jawab. Tidak adanya ambisi pribadi untuk menjadi pemimpin di level apa pun ini juga menjadi amunisi tambahan, misalnya dengan mengopinikan Jokowi sebagai boneka partai.
Kekeliruan ketiga, magnet ketokohan Jokowi itu sedemikian genuine tanpa rekayasa sistematik. Popularitasnya dibangun dari karakteristik kepribadiannya yang apa adanya, jujur, tidak koruptif. Kalau toh media massa memberi kontribusi pada akselerasi popularitasnya, maka ini adalah dampak dari kuatnya magnet Jokowi, bukan karena digelontorkannya sejumlah milyaran rupiah untuk membangun popularitas ini. Dalam latar belakang ini, amunisi yang digunakan adalah membangun opini bahwa yang dilakukan oleh Jokowi ini merupakan pencitraan. Amunisi tambahannya adalah penistaan citra Jokowi dengan memanfaatkan media massa yang memihak atau menciptakan media massa odong-odong seperti Obor Rakyat dengan biaya tinggi. Data elektabilitasnya pun diruntuhkan dengan cara yang lebih buruk daripada sekedar membayar lembaga survei, yakni dengan memublikasikan hasil survey luar negeri yang sudah dipalsukan.
Kekeliruan keempat, figur Jokowi ini benar-benar merupakan personalisasi cita-cita keindonesiaan yang menjadikan kebhinekaan sebagai salah satu pilar penting. Wakilnya di Solo adalah seorang Katolik. Wakilnya di Jakarta adalah seorang Protestan. Belum lagi ditambah dengan dipertahankannya Lurah Susan sebagai pegejawantahan kebhinekaan Indonesia. Amunisi untuk membantai Jokowi dalam konteks ini sederhana saja, yakni dengan meniupkan isu bahwa Jokowi itu seorang kristiani, etnis Tionghoa yang bapaknya ada di Singapore. Di Indonesia, SARA sangat efektif untuk menyulut simpati atau antipati publik. Kebodohan masyarakat Indonesia yang tak kurang terdidik, dan fanatisme sempit, serta ketidakbijaksanaan dari mereka yang merasa sebagai kaum terdidik adalah lahan subur untuk berkembangnya simpati atau antipati jika pupuknya adalah SARA.
Keempat kekeliruan fatal pencapresan Jokowi ini memang harus dicegah dengan menghalalkan segala cara yang tak halal. Dengan demikian Indonesia tetap dapat dipertahankan dalam situasinya seperti saat ini sebagai surganya “The Corruptible”, tetap terpuruk. Slogan “Indonesia Bangkit” harus dibaca dan dimaknai secara terbalik seperti semua ujaran politik lainnya di negeri ini. Artinya: untuk mempertahankan keterpurukan Indonesia, maka diperlukan slogan yang sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H