Tambang. Menyebut lema ini tak sedikit orang langsung berpikir tentang suatu kegiatan yang berujung pada perusakan lingkungan. Banyak sekali tulisan mengenai kegiatan pertambangan di Indonesia, di mana sebagian besar tulisan itu berisi tentang sisi negatif dari aktivitas pertambangan.
Tapi apakah kita sadar bahwa dalam kehidupan kita yang modern ini tidak bisa lepas dari mengkonsumsi bahan tambang. Lucu dan naif rasanya jika ada orang yang berteriak tentang negatifnya pertambangan tapi dia sendiri pengguna bahan tambang. Saya cuma tidak bisa membayangkan jika yang berteriak dan penentang pertambangan benar-benar idealis dan jujur tidak menggunakan bahan tambang dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan dia tinggal di rumah yang tidak menggunakan semen atau beton, atap genteng, tidak ada listrik, tidak bisa menggunakan kompor untuk memasak, tidak menggunakan piring, gelas dan sendok untuk makan, bahkan (maaf) tidak berpakaian, tidak ada HP sebagai alat komunikasi dll. Paling mereka bisa berkilah: kami bisa tidur di dalam gua, kami ada penerangan dari api unggun yang kami buat, kami bisa makan beralas daun dan minum langsung dari sungai bertadahkan tangan serta kami menggunakan kulit binatang atau kayu untuk pengganti baju. Tapi apakah di kehidupan modern seperti sekarang ini ada yang mau berperilaku seperti itu?
Ada satu pertanyaan yang perlu diluncurkan; adakah yang pernah melihat sisi lain dari pekerjaan seorang penambang dan kontribusi dari sektor pertambangan?.
Sudah lumrah, setiap pekerjaan ada risikonya tak terkecuali di bidang pertambangan. Namun pekerjaan tambang termasuk dalam kategori pekerjaan yang berisiko tinggi baik itu bekerja di tambang terbuka (open pit mine) maupun di tambang dalam (underground mine). Seperti kemungkinan terlindas alat-alat berat yang besar, bahaya bencana alam dari longsoran dinding tambang, tertimbun material di dalam tambang dan masih bayak resiko yang bisa terjadi kepada setiap pekerja.
Bekerja di tambang berarti bekerja di suatu remote area jauh dari hiruk pikuk perkotaan, tinggal jauh dari keluarga dengan aktifitas pertambangan yang beroperasi 24 jam dan dibagi dalam beberapa shift pekerjaan sudah membuat jenuh para pekerja, walaupun di dalam camp sendiri perusahaan sudah menyediakan berbagai fasilitas, seperti sarana hiburan, ibadah, kantin yang memadai, fasilitas olahraga dan lain sebagainya untuk menghilangkan kejenuhan para pekerja, namun tetap saja rasa jenuh itu masih ada bahkan ada teman yang mengistilahkan kami ini terbalik “Di kota orang mengurung burung peliharaan, kami di camp seperti burung di dalam sangkar yang menunggu waktu ‘keluar’.”
Lain cerita para pekerja di tambang rakyat yang masih tradisional di mana mereka tidak mengenal standard safety dan pekerjaan mereka masih serabutan tanpan prosedur yang rapi, sehingga kemungkinan terjadi kecelakan lebih tinggi. Namun apapun itu, mereka adalah pekerja yang berupaya untuk memenuhi hajat hidup orang banyak termasuk di dalamnya hajat dari orang-orang yang memicingkan mata, menganggap negatif pertambangan.
Kesimpulanya kegiatan tambang ada karena untuk memenuhi hajat hidup orang banyak dan tidak dipungkiri bahwa label “perusak dan pengeruk” sudah melekat erat di pundak bidang pertambangan.
Suatu kegiatan pertambangan yang legal untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan sudah melalui beberapa tahapan termasuk tahapan dalam mengatasi dampak lingkungan seperti, Amdal, Rencana Penutupan Tambang (RPT), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Jaminan Reklamasi dll. Tapi mengapa masih terjadi kerusakan lingkungan? Nah hal ini yang sebenarnya menjadi perhatian, apakah tahapan-tahapan tersebut berjalan dengan sebagaimana mestinya atau kurangnya pengawasan dari perusahan dan dinas terkait dalam mencegah dampak yang terjadi.
Lalu, bagaimana dengan tambang tuna legal yang menyebabkan kerusakan lingkungan? Bukankah kegiatan ini tidak ada tahapan dalam pengawasan lingkungan? Ini berpulang lagi kepada dinas terkait dan masayarakat sendiri dalam mengatasi permasalahan ini.
Pertambangan sebagai industri yang langsung berhubungan dengan alam sudah terang benderang akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Yang menjadi poin penting, tugas kita, sebagai insan dan khalifah di bumi, menjaga karunia yang Dia ciptakanNya dan memanfaatkan ini semua dengan saling mendukung, bukan saling menelikung. ()
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H