Munculnya penulis penulis seperti Hilman Hariwijaya, Zara Zettira dan Gola Gong membawa genre baru dalam merumuskan anak muda 80-an yang mengacungkan salam "Peace" sebagai sebuah penyelesaian keributan keributan khas anak muda saat itu.
Di Medio 80-an pertarungan antar geng luar sekolah nyaris tidak ada lagi namun perkelahian gaya anak anak laki saat itu beralih ke pertarungan antar sekolah, di Jakarta sebagai centrum gaya hidup anak muda saat itu, menjadikan 'tawuran' sebagai gesekan identitas antar sekolah.Â
Istilah tawuran sendiri berasal dari Majalah Hai, saya masih ingat bagaimana majalah Hai kerja keras dalam mendamaikan situasi panas tawuran dan secara perlahan bisa dilakukan dari tulisan artikel mewujud dalam situasi lapangan sebenarnya, bagaimana keadaan panas perkelahian gaya anak anak muda Jakarta didamaikan oleh Majalah Hai, beberapa model anak muda seperti Hendry Hendarto dijadikan ikon perdamaian antar sekolah.Â
Adu jotos di jalanan diubah oleh Hai menjadi sebuah Pesta Pelajar, disini majalah Hai secara intensif melalui kru-nya mengajarkan manajemen pesta sekolah, dari sinilah kemudian lahir acara acara musik di sekolah yang anak sekarang mengenalnya sebagai "Pensi", pentas seni.
Memasuki tahun 1987 sampai dengan dekade 1990-an, majalah Hai lebih berpusat pada artikel artikel musik, berbeda dengan televisi dan cerita bersambung, artikel soal musik amat dinikmati anak anak muda di jaman itu.Â
Walaupun ketenaran acara acara televisi saat itu seperti Hunter, The A Team, Oshin sampai Keluarga Huxtable sangat mempengaruhi alam pikiran anak anak muda, oleh Majalah Hai pusat narasi diarahkan ke musik. Ledakan pengaruh musik metal di tahun 1988 seperti Bon Jovi, Metallica, Skid Row ataupun Scorpions, menjadi salah satu alasan Majalah Hai mencetak tiras yang tinggi dibanding majalah majalah populer lainnya.
Tabloid Monitor dan Industri Gossip Di Masa Orde BaruÂ
Ketika majalah Hai diarahkan lebih ke musik dan gaya hidup, maka Arswendo memiliki ide jenius yaitu menjadikan acara televisi sebagai sebuah industri tersendiri dalam media, acara televisi dinilai Arswendo memiliki pasar yang khas dan jangkauannya luar biasa besar. Di masa jaya-jayanya Orde Baru, produk kesenian dikontrol ketat semua hal termasuk gossip dan tubuh dikontrol oleh kekuasaan. Lagu cengeng dibredel oleh Harmoko, penafsiran soal urusan publik dikuasai oleh negara.Â
Di sini lah kemudian Arswendo mendapatkan ilham-nya, menyatukan mampetnya saluran saluran kepo (keingintahuan berlebihan) masyarakat ditambah cerita jenaka dan mudah dimengerti, serta 'kekuatan tubuh perempuan' menjadi suatu eforia publik dimana peran negara memampetkan dianggap Arswendo sebagai 'celah bisnis media bergaya baru'.
Pada tahun 80-an, media gossip tidak begitu berkembang. Saat itu media ada dua pola, pertama media intelektual moderat seperti Kompas, media pegawai negeri Suara Karya, dan media rakyat banyak seperti Pos Kota. Masing masing menempatkan berita gosip sangat sedikit.Â
Kompas sangat santun dengan profilling bagi orang yang populer di kolom "Nama dan Peristiwa", Suara Karya ada di SKM (Suara Karya Minggu) sementara Pos Kota berita artis nyaris tidak terdengar kecuali berita berita kriminal yang bikin bergidik.