Arswendo Mengubah Wajah Tulisan Anak MudaÂ
Tahun 70-an adalah tahun pergolakan anak muda, geng-geng jalanan yang kerap disebut 'crossboy' ada dimana-mana, budaya populer mulai dari musik, tarian sampai dengan bacaan bacaan novel nyaris semuanya berpusar pada gerakan anak anak muda diluar sekolah. Komunitas diluar sekolah menjadi pusat budaya populer, musik yang urakan, rada nge-fly dan anak anak motor diceritakan dengan lugas sebagai bagian dari romantika generasi 70-an.
Rasa frustrasi anak anak muda yang dilalaikan bapaknya pejabat Orde Baru yang banyak garap proyek digambarkan dengan manis dalam novel populer saat itu "Ali Topan Anak Jalanan" ataupun film bergaya pemberontakan Roy Marten seperti "Roda Roda Gila" komunitas luar sekolah menjadi mahkota anak muda saat itu, geng-geng macam Legos (Lelaki Goyang Senggol), Slendank Boys sampai Marsose jadi pusaran gaul anak muda di era 70-an.
Oleh Arswendo, narasi "luar sekolah" dibawa ke dalam "komunitas sekolah". Cerita cerita anak muda dibawakan dalam pergaulan anak-anak sekolah, disini tanpa sengaja Arswendo mengubah sebuah jaman pemberontakan jalanan ala James Dean menjadi kelucuan kelucuan anak anak muda di dalam komunitas sekolah seperti John Travolta.Â
Perkelahian bukan lagi narasi utama dalam cerita anak anak muda di tahun 80-an, tapi sebuah alur konyol dan bikin orang ketawa, hasil terbaik dalam gagasan Arswendo soal narasi anak muda adalah tulisan Hilman Hariwijaya  berjudul Lupus, yang bisa dikatakan sebagai karya paling populer di Indonesia pada medio 80-an.Â
Majalah Hai, Milestone Pertama ArswendoÂ
Bisa dikatakan generasi 80-an hidup dalam alam pikir majalah Hai. Inilah majalah anak muda lelaki yang sangat berpengaruh dalam membentuk watak anak muda di tahun 80-an dan 90-an. Nyaris mustahil anak anak muda yang besar di tahun itu tidak mengenal Hai, bahkan orang orang populer di masa sekarang seperti Fadli Zon dan Sandiaga Uno pernah tampil dalam majalah Hai sekitaran tahun 1989.
Arswendo-lah tokoh utama dalam pembentukan majalah Hai dan bagaimana konten bisa tercipta secara kreatif. Terus terang saya sendiri belum pernah membaca Majalah Hai edisi awal seperti tahun 1977, namun seingat saya sejak 1985 saya sudah mulai membaca majalah Hai. Â Saya beruntung baca banyak majalah keluaran Gramedia, karena Oom saya kerja di Gramedia dan kerap membawa banyak majalah bahkan dalam bentuk bundelan.
Saya yang awalnya menyukai cergam Pos Kota seperti Doyok, Ali Oncom ataupun Otoy, beralih menjadi penggemar  majalah Hai yang seingat saya waktu itu kiriman bundelan Hai selalu datang dengan majalah "Jakarta-Jakarta", bila majalah "Jakarta Jakarta" lebih pada peristiwa politik internasional dengan frame yang fokus pergerakan tokoh seperti Imam Khomeini, Imelda Marcos sampai pada Ronald Reagan yang selalu siapkan pasukan tempur, maka majalah Hai di tahun 1985-an secara smooth menjadikan acara acara televisi dan musik sebagai berita yang menghibur.
Setelah tahun 1985, majalah Hai yang memusatkan pada pengayaan (enrichment) acara televisi menjadi sebuah artikel yang menarik, secara perlahan Hai memproduksi cerita cerita yang mampu menjadi ikon besar jamannya.Â