Melalui sebuah rapat redaksi, seorang wartawan ditugasi oleh pimpinannya untuk mencari berita. Bahkan kadang tanpa melalui rapat redaksi, wartawan yang sudah senior bisa meluncur saja ke lapangan mencari berita demi memenuhi deadline. Maka yang sering terjadi adalah rutinitas deadline. Diakui atau tidak, seorang wartawan akan berusaha menghindari deadline. Sebab, dari deadline inilah salah satunya, seorang wartawan bisa tetap bekerja dan dianggap profesional di sebuah media tempatnya bekerja.
Inilah yang tak diketahui oleh orang awam, bahwa berita yang disajikan di sebuah koran, internet, radio atau televisi, bisa saja hanyalah bernilai sampah semata. Artinya, berita-berita yang isinya cuma buaian yang sengaja dimuat untuk memanjakan mata pembaca. Aturan-aturan media sering diterobos dan dikamuflase. Hingga berita-berita yang sudah memenuhi standar kode etik jurnalistik sekalipun kadang sering terjebak pada rutinitas semata.
Bayangkan bila sebuah media sudah beranggapan, atau dilatih, untuk ditarget mencari empat berita tiap harinya.Bukankah pola pikir tersebut bisa “memaksa” wartawan untuk terjebak dalam rutinitas mencari berita, dan bukan membuat atau menilai sebuah berita? Padahal media adalah sarana informasi yang bernilai cerdas. Persoalannya adalah bukan pada sulitnya menyediakan tulisan yang berkualitas, mengingat saat ini ada jutaan informasi yang bisa dengan bebas diunduh dan dijadikan berita. Namun pada kepentingan dan kemauan masing-masing redaksi.
Kekurangan kode etik jurnalistik
Kode etik jurnalistik, yang sering dijadikan dasar peliputan dan pembuatan berita, tentu tidaklah cukup. Sebab dalam kode etik jurnalistik, tidak ada larangan untuk membuat informasi yang tak berguna, yang bernilai sampah. Pertama, kode etik jurnalistik hanya menekankan pada aturan pembuatan/pemuatan berita saja. Padahal dalam sebuah media ada banyak informasi selain berita, mulai dari iklan, debat para tokoh, juga informasi yang sifatnya non-berita. Sehingga tidak jelas apakah etis, misalnya, seorang pasangan calon bupati yang sedang haus perhatian, tiba-tiba bertandang ke kantor sebuah media hanya untuk alasan silaturahmi dengan pempinan redaksi? Lalu, coba kita tengok ada berapa banyak iklan di koran dan majalah yang secara sembunyi-sembunyi hendak menyamarkan keterangan "Advertorial", lalu menggantinya dengan singkatan "ADV" di bagian sudutnya.
Kedua, banyak kolom/rubrik tertentu yang dipakai untuk main-main. Misalnya ada kolom opini yang menghadirkan tokoh-tokoh tertentu untuk berbicara mengenai kepentingan kelompoknya sendiri. Hal ini sering tidak dipermasalahkan karena mereka memang berlindung di balik judul “opini”. Seolah-olah melalui opini, semua tokoh berhak berbicara dan berpendapat sesuka hati, sesuai kepentingannya. Ketiga, tidak semua orang tahu tentang kode etik jurnalistik. Harusnya dewan pers mempertimbangkan lagi perihal aturan pencantuman ketentuan atau larangan-larangan mengenai seperti apa seharusnya pers yang baik dan berkualitas. Sebab alangkah mustahilnya lembaga pengawas pers bisa terus memantau media-media kecil yang ada di pelosok, yang pembacanya mayoritas orang-orang yang tak tahu menahu soal pers?
Maka perlu ada pengawasan ketat dan penambahan pencantuman aturan berita pada tiap media, agar publik ikut bisa mengawasi jika ada media tertentu yang melanggar aturan pers dan kualitasnya tak layak baca. Jadi tidak cuma larangan amplop atau jajaran nama-nama redaksi saja yang nampang di box media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H