Mohon tunggu...
Anton Suryanto
Anton Suryanto Mohon Tunggu... Musisi - Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang

Penikmat Kopi,Hujan, Dan Senja

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menyalakan Lagi Asa Berbahasa Indonesia

18 Oktober 2017   00:14 Diperbarui: 18 Oktober 2017   01:01 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa Indonesia, Bahasa Yang Kian Marginal Di tanah Sendiri

Hakekat manusia yang terlahir sebagai makhluk sosial tentu setiap waktunya selalu membutuhkan interaksi kepada sesamanya. Suatu interaksi akan terjalin dengan lancar apabila tercipta komunikasi yang timbal balik, salah satu kunci agar dapat berkomunikasi adalah dengan mampu berbahasa yang baik agar orang lain dapat menangkap apa yang kita maksud dan sebaliknya kita mampu memahami apa yang di sampaikan oleh orang lain. Tidak salah jika pepatah mengatakan bahwa bahasa adalah pemersatu umat manusia.

Kita yang terlahir di Indonesia sebagai bangsa yang multikulturalisme terdiri dari berbagai suku,ras,agama, dan bahasa tentunya, akan merasa kesultitan jika tak adanya bahasa yang mampu mempersatukan masyarakat Indonesia, Beruntung bulan Oktober 89 Tahun yang lalu para pemuda-pemuda berkumpul berikrar berbahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sehingga hingga kini bulan Oktober diperingati sebagai bulan bahasa, bulan pemersatu masyarakat melalui bahasa Indonesia. Bisa di bayangkan jika kita tak memiliki bahasa persatuan, masyarakat dari berbeda daerah akan merasa kesulitan dalam berdagang,bertukar informasi bahkan sekedar bertegur sapa.

Bahasa Indonesia bahasa pemersatu bangsa Indonesia tentunya wajib dan harus digunakan sebagai bahasa utama dalam forum formal maupun segala unsur instansi pemerintah, sehingga menjadi lumrah jika bahasa Indonesia diajarkan sedari kecil dalam lingkup keluarga hingga perguruan tinggi dan diujikan dalam Ujian Nasional. Tentu diharapkan seluruh masyarakat Indonesia mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai wujud cinta tanah air.

Seiring berjalannya waktu, realita yang ada kini bahasa Indonesia kian termarginalkan di tanah sendiri, eksistensi bahasa Indonesia semakin terpinggirkan oleh pemiliknya sendiri. Arus globalisasi yang kian menjalar ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat menjadi faktor utama kian marginalnya bahasa Indonesia apalagi ditambah adanya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) yang banyak didengungkan akhir-akhir ini, arus globalisasi memaksa masyarakat untuk mahir berbahasa yang diakui di dunia bahasa Inggris misalnya.

Nampaknya pepatah " Bahasa menunjukan identitas bangsa" hanya tinggal mitos yang hanya bisa dibaca penggunaan bahasa asing sudah hampir menggerogoti semua lini kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari kalangan anak muda,pembisnis,pemerintahan. Bahasa Inggris menjadi kian melekat sebagai 'Budaya' mengalahkan budaya identitas bangsanya sendiri. Miris. Dulu pernah ada gembor-gembor akan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama di ASEAN, sekarang boro-boro mau jadi bahasa utama ASEAN, di rumah sendiri saja bahasa Indonesia semakin dilupakan.

Lihat saja realita yang ada dimasyarakat, kita lebih suka menyebut "Mid Semester" daripada tengah semester, akan terlihat keren jika memakai "Slow aja kali" daripada "Tenang saja" semakin banyak iklan-iklan produk di Indonesia yang memakai bahasa asing, misalnya papan-papan di warung kopi yang menuliskan " Stay calm and drinking a coffe"daripada "Santai dan minum kopi"

Lebih parah lagi didunia pendidikan para orang tua lebih gemar memasukan anaknya ke sekolah-sekolah Internasional dengan harapan anak mereka dapat fasih berbahasa Inggris, lembaga-lembaga pendidikan juga berebut mendirikan sekolah dengan nama-nama asing untuk menunjukan bahwa sekolah mereka bertaraf Internasional dan menjunjung bahasa asing, dan bukan lagi hal yang aneh jika orang tua dan siswa menganggap mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai strata terendah yang tak penting untuk dipelajari.

Mereka lebih menganggap pelajaran semacam Fisika,Matematika,Kimia jauh lebih penting padahal menguasai pelajaran itu memperlukan jembatan penghubung sebagai agar ilmu dapat diterapkan sesuai kebutuhannya, nah jembatan itu adalah bahasa, maka tak heran jika banyak siswa yang pintar dalam teori dan teknik namun tak mampu menyampaikannya secara lisan maupun tertulis sehingga ilmu yang mereka kuasai tak bisa di transfer kepada orang lain dan di implementasikan di kehidupan bermasyarakat. Tak heran jika rata-rata nilai UN Bahasa Indonesia siswa Indonesia selalu terendah dibandingkan mata pelajaran yang lain.

Tak mau kalah, pemerintah pun sudah melegalkan bahasa asing di dalam undang-undang, misal dengan menyebut perundang-undangan "Tax Amnesty"yang akhir-akhir ini sedang di dengung-dengungkan oleh kementrian keuangan, lalu yang sedang popoler juga ada dari kementrian pendidikan dan budaya tentang perundang-undangan "Full Day School"mungkin akan terlihat kuno dan aneh jika memakai "bersekolah seharian penuh"

Tak lupa istilah-istilah hiburan masyarakat yang diadakan pemerintah semacam "Car Free Day" "Color Run" tampaknya malu jika memakai "Hari bebas berkendara" dan "Lari Berwarna" Pemerintah seolah-olah menjilat ludah sendiri atas UU No 24 Tahun 2009 menjelaskan, "Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau perumahan, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh WNI atau badan hukum Indonesia".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun