Kenyataan konflik dan krisis kemanusiaan yang menerpa di Indonesia jika ditilik dari media sosial tentu lebih mengerikan. Banyak orang yang tiba-tiba sok menyamai Tuhan, paling paham soal kitab suci yang mereka percayai, paling berhak untuk menilai seseorang berbuat dosa apa tidak, paling semangat mengkafirkan saudaranya yang berbeda suku,ras dan agama seolah-olah surga dan neraka ada di tangannya. Mereka seakan tak sadar jika mereka menganggap orang lain yang berbeda dengannya sebagai musuh, mereka sama saja menghina Tuhan yang mereka percayai. Apa Tuhan menciptakan perbedaan untuk menjadi sia-sia ? A
pa Tuhan menjadikan perbedaan untuk menciptakan permusuhan diantara umatnya ? Apa untaian kata ayat-ayat suci hanya tulisan tanpa tujuan ? Mari renungkan dan bersama-sama menahan ego masing-masing demi keutuhan Bhinneka Tunggal Ika
Agama, dalam bahasa sansekerta yang artinya 'a' tidak dan 'gama' kacau balau sehingga dapat disimpulkan jika tanpa agama hidup manusia akan kacau balau, namun seiring berjalannya waktu agama malah menjadi biang kekacauan. Dahulunya agama diciptakan sebagai pedoman hidup dengan tujuan dimasa depan manusia bisa saling menghargai,menghormati dan mengasihi sesamanya. Memang hal yang wajar jika manusia sangat sensitif soal agama, lumrah jika marah kalau agamanya dihina atau direndahkan oleh orang lain.Â
Namun bukan berarti semua harus dipukul rata, kamu boleh membenci orang yang menghina agamamu tapi tidak dengan agamanya. Paham fanatisme di Indonesia yang diajarkan sejak kecil oleh sebagian orang yang menganggap agamanya sendiri paling benar dan orang lain yang berbeda agamanya dianggap sebagai sosok yang harus dimusuhi, menjadi faktor penting agama menjadi sumbu paling pendek dan sederhana dalam memicu konflik dan krisis kemanusiaan.
Para pemuka agama yang tentunya diharapkan menjadi sosok yang mampu meredakan konflik diantara umatnya terbawa arus akan paham fanatisme yang berlebihan, mereka menjadi sosok yang paling benar dalam menafsirkan ayat, menentukan dosa melebihi malaikat. Mereka seolah lupa pada statusnya yang bisa dikatakan sebagai sosok wakil Tuhan dibumi malah mengeluarkan kata-kata cacian,makian,hujatan diatas mimbar dihadapan ratusan ribu bahkan jutaan umatnya.Â
Sesama wakil Tuhan yang berbeda pendapat dengannya akan disebut sebagai munafik,kafir,mendukung agama lain. Tentu saja hal ini membuat paham intoleransi dan radikalisme semakin menguat, lantas siapakah lagi yang harus meredakan konflik dan krisis kemanusiaan di Indonesia??
Apakah kita mau konflik dan krisis kemanusiaan yang berawal dari Jakarta terus menjalar dan perlahan-lahan menghancurkan bangsa Indonesia?? Tentu Indonesia sangat berharap besar kepada para mahasiswa, para pemuda cendekia yang telah berulang kali menorehkan tinta sejarah dalam kemajuan bangsa. Tentu masih teringat 28 November 1928 lalu para pemuda cendekia berikrar suci bertumpah darah satu,berbanga satu dan berbahasa satu atau lebih dikenal sebagai sumpah pemuda dan tentu masih segar dalam ingatan ketika 4 orang mahasiswa Trisakti mengorbankan nyawa mereka untuk tumbal lahirnya reformasi. Menumbangkan rezim dzalim yang berkuasa 32 tahun, mengakhiri konflik dan krisis kemanusiaan 1998.
Kini sudah saatnya para Mahasiswa menyatukan barisan, abaikan egoisitas,radikalisme dan fanatisme yang berlebihan tak peduli tentang perbedaan yang  menyekat, ini demi kelangsungan kemajemukan dan utuhnya Bhinneka Tunggal Ika di Tanah air tercinta ini. Sudah genting keadaannya tanah air memanggil kepeduliaan para mahasiswa. Kembalikan Agama menjadi peredam konflik, kembalikan agama dan tafsiran ayat suci menjadi privasi masing-masing orang, tanpa orang lain harus paham dan mengerti. Seorang muslim tak perlu berkomentar tentang ibadah natal seorang nasrani, Seorang Nasrani tak usah sok paham tentang alasan mengapa Budha memakai patung sebagai perantara doa menuju Tuhan-nya.
Berhenti berkomentar kalau agamanya paling benar, kamu hanya sesama manusia yang hidup bersama di dunia dengan jalan yang berbeda-beda, namun menuju arah yang sama yaitu Tuhan. Sudahi konflik dan krisis Kemanusiaan ini, kembalikan kemanusiaan dan toleransi diatas segalanya " Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa,asal-usul, dan ragamnya.Â
Berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya. Semuanya merupakan satu keluarga besar, satu keluarga besar dimana anak-anak masa depan, tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah, jangan lagi ada curiga,kebencian dan permusuhan '' --Mgr Albertus Soegijapranata (Pahlawan Indonesia Uskup pribumi pertama di Indonesia) Kembalikan pancasila sebagaimana tujuan dibuat, Tanamkan kembali landasan pedoman hidup rakyat Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, Berbeda-beda namun tetap satu jua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H