Mohon tunggu...
Anton R Purnama
Anton R Purnama Mohon Tunggu... -

Humanitarian Volunteer

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Hak ASI Eksklusif Anakku Terancam

31 Januari 2015   16:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:02 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_394144" align="aligncenter" width="270" caption="Sumber: http://www.muarefm.com/wp-content/uploads/2014/09/ASI_Pasti_01.png"][/caption]

“Seorang Ibu akan melakukan apa saja untuk anaknya”. Itulah kalimat yang meluncur dari mulut ibu Y, salah seorang petugas kesehatan yang bertugas di salah satu PUSKESMAS di Kota Bandung.

Empat tahun sudah Ibu Y mengabdi sebagai Bidan PTT di salah satu PUSKESMAS yang letaknya tidak jauh dari Pasar Induk terbesar di Kota Bandung. Sekitar dua jam perjalanan berangkat dan satu jam perjalanan pulang setiap hari harus Ia tempuh karena jarak yang cukup jauh antara rumahnya yang terletak di Kabupaten Bandung Barat dengan lokasi kerjanya di Kota Bandung. Waktu berangkat menjadi lebih lama karena kemacetan yang biasa terjadi di pagi hari. Ibu Y telah memiliki dua putra dan satu orang putri, namun putra pertamanya meninggal dunia lima tahun yang lalu pada usia tiga bulan. Saat ini Ibu Y mengasuh 1 orang putri dan 1 orang putra yang baru dilahirkannya bulan November 2014 silam.

Dalam kesehariannya Ibu Y melayani pasien yang berkunjung ke PUSKESMAS, selain itu Ibu Y melaksanakan tugasnya berkunjung ke POSYANDU untuk memberikan pelayanan, pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat. Salah satu program yang menjadi prioritas dalam pemberian informasi kepada masyarakat adalah pemberian ASI Eksklusif kepada bayi usia 0-6 bulan. Namun kenyataan yang Ia hadapi tidaklah semudah seperti pada saat melakukan penyuluhan. Belum genap 1 bulan usia buah hatinya saat itu, Ia sudah harus kembali melaksanakan kewajiban sebagai Bidan PTT. Ia hanya mendapatkan cuti hamil-melahirkan selama 40 (empat puluh) hari, padahal lazimnya cuti hamil-melahirkan adalah 3 bulan (90 hari kerja). Keinginannya untuk memberikan ASI Eksklusif bagi anaknya justru terancam karena Ia menghadapi kendala dalam mendapatkan izin untuk memberikan ASI kepada bayinya pada saat jam kerja. Dengan wajah sendu Ibu Y menuturkan bahwa sebenarnya dia telah memiliki “Bank ASI” yang diberikan kepada anaknya padahal pada bayinya selama Ia bertugas. Sempat terpikir untuk membawa bayinya bekerja, namun karena jarak yang ditempuh cukup jauh dan bidang pekerjaannya menuntut untuk berinteraksi dengan pasien sakit, maka ia khawatir akan berdampak kurang baik bagi kesehatan anaknya. Ibu Y menyatakan keheranannya terhadap kebijakan Kementrian Kesehatan yang memprogramkan ASI Eksklusif bagi bayi 0-6 bulan namun justru melahirkan peraturan yang kurang mendukung bagi Dokter dan Bidan PTT yang notabene adalah garda depan pelaksanaan promosi dan pembinaan program tersebut.

Menurut Ibu Y, hal ini merupakan dampak dari kebijakan yang dikeluarkan oleh PERMENKES No 7 Tahun 2013 tentang  Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap di lingkungan Kementrian Kesehatan Indonesia. Dalam BAB III pasal 14 ayat 1 poin e) berbunyi: Bidan sebagai PTT berhak “memperoleh cuti bersalin selama 40 (empat puluh) hari kalender sesuai ketentuan perundang-undangan, setelah bertugas paling sedikit selama 1 (satu) tahun”. Menurutnya, hal ini tidak sesuai dengan bunyi pasal 82 ayat 1 UU NO 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”. Selain itu dalam pasal 83 disebutkan bahwa “Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja”. “Jika dalam kewajiban dan tanggung jawab kami disama-ratakan dengan PNS tetap, lalu mengapa Hak kami di bedakan dengan mereka?”, begitu tuturnya.

Dalam analisa Adi Condro Bawono, S.H., M.H. seorang pakar hukum dalam tulisannya di www.hukumonline.com mengatakan bahwa hakcuti hamilselama 1,5 bulandanhakcuti melahirkan1,5 bulan telah diberikan oleh undang-undang secara normatif dengan hak upah penuh atau berupah/ditanggung selama menjalanicuti hamildancuti melahirkantersebut. Dengan ketentuanPasal 52 ayat (1) huruf d UU No. 13/2003 jo. 1320 ayat (4) dan 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdatamenyatakan bahwa pengusaha yang akan mengatur/memperjanjikan hak cuti hamil dan cuti melahirkan, baik dalam perjanjian kerja(“PK”) dan/atau dalamperaturan perusahaan(“PP”) atau perjanjian kerja bersama(“PKB”),tidak bolehmengatur/memperjanjikan kurang (menyimpang) dari ketentuan normatif yang sudah menjadi hak pekerja/buruh. Sebaliknya, jika terdapat peraturan yang menyimpang mengenai hal tersebut dalam PK atau PP atau PKB, maka klausul (yang menyimpang) tersebut batal demi hukum -null and void,van rechtswege. Karena secara umum syarat sahnya pengaturan atau perjanjian antara lain tidak bolehmelanggar undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak mengganggu ketertiban umum. Sehingga, dalam kaitan dengan hakcuti hamildanmelahirkantersebut, pengusaha/para pihak hanya dapat mengatur/memperjanjikan (misalnya) pemberian hak cuti yang lebih dari ketentuan normatif, atau menyepakati pergeseran waktunya, dari masacuti hamilke masacuti melahirkan, baik sebagian atau seluruhnya sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3 bulan atau kurang lebih 90 hari kalender.

Kondisi yang dialami oleh Ibu Y mungkin hanya satu dari sekian banyak cerita serupa lainnya. Pada tahun 2013 Indonesia memiliki 40.058 orang Bidan PTT (Kompas.com, Mei 2013) dan mencapai lebih dari 42.000 orang pada tahun 2014 (mpr.go.id, Mei 2014), mungkin jumlahnya akan lebih banyak di tahun 2015 sekarang ini mengingat jumlah yang ada belum memenui kebutuhan bidan di seluruh desa yang ada di Indonesia.  Sebuah fakta yang ironis jika 42.000 Bidan PTT (belum termasuk dokter PTT) di  Indonesia yang kesehariannya membantu ibu hamil, melahirkan dan menyusui, mempromosikan betapa pentingnya pemberian ASI Eksklusif bagi bayi 0-6 bulan terancam mengalami kesulitan untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun