Beberapa hari ini, orang-orang meributkan dicatutnya nama Presiden dalam negosiasi perpanjangan kontrak Freeport. Pertama-tama, perlu diingat, kenapa sampai nama Presiden dicatut?
Sejak awal, Freeport menolak untuk mendirikan smelter. Kewajiban ini diatur dengan UU minerba no. 4 tahun 2009 pasal 103, yang mewajibkan didirikannya Smelter. Ayuk kita pakai nalar sehat, ya.      Â
Pertama-tama, UU minerba ini memang kurang masuk akal, meski sangat nasionalis. Kenapa tidak masuk akal? Karena listrik kita tidak cukup, bahkan tanpa adanya smelter saja pun, listrik sudah byar pyet. Konon lagi kalau dibangun smelter? Selain untuk operasional smelter, untuk membangun smelter pun tentu perlu energi yang luar biasa besar.
Kedua, Freeport meminta kepastian diberikan perpanjangan kontrak sebagai balasan dibangunnya smelter. Kalau hanya sampai 2021, mereka keberatan membangun smelter. Nah, di point yang satu ini, dari sudut bisnisnya sudah benar. Dan di sinilah asal muasal gaduhnya SN mencatut nama Presiden. Apakah Freeport keterlaluan dalam hal ini? Saya rasa tidak. Dengan investasinya yang begitu besar dan dengan telah mendapatkan keuntungan yang begitu besar, serta dengan sisa emas dan tembaga yang masih diambil, tentu Freeport menginginkan kepastian. Semua orang yang berbisnis mencari kepastian. Ketika mencari kepastian inilah, para pebisnis sering sekali 'digoyang' oleh pengambil kebijakan. Diberi lampu hijau, dan juga sering kali diingatkan atas 'jasa' dari orang-orang yang memberikan kepastian. Dan perlu juga diingat, waktu membangun suatu smelter dengan kapasitas freeport, berikut pembangkit listriknya, kira-kira perlu waktu 3 sampai 4 tahun. Tentu nanti waktu operasionalnya pun tidak ada sisa waktu lagi, apabila kontrak tidak diperpanjang.
Ketiga, apakah para pejabat kita tidak aware atas poin 1 dan 2? Tentu mereka tahu. Tetapi, mereka terikat dengan aturan kalau kontrak hanya bisa diperpanjang 2 tahun sebelum berakhir, sesuai dengan Peraturan Pemerintah no 74 tahun 2014. Presiden menolak memberikan diskresi. Karena pada bulan Oktober 2015, Presiden malah memberikan 5 syarat perpanjangan kontrak; 1)kontrak baru diperpanjangan 2 tahun sebelum kontrak sekarang habis; 2)Penggunaan Local content; 3) Divestasi saham; 4) Penambahan royalti; 5) Wajib membangun smelter.
Melihat tiga poin di atas, jelas, sebenarnya Freeport tidak perlu melobi pihak-pihak lain lagi. Lebih baik, seandainya Freeport menyetujui syarat-syarat Presiden dan meminta supaya dibuatkan MOU sebagai 'tanda jadi' perpanjangan kontrak. Masalah mulai terjadi ketika Freeport tertarik dengan iming-iming bahwa kontrak bisa segera diperpanjang dengan bantuan orang-orang yang mengaku bisa mempengaruhi Presiden. Timbullah Sudirman Said yang pada awalnya mengakui perpanjangan kontrak, lalu Setya Novanto yang kemudian karena merasa 'sanggup membantu', berusaha melobi SS, padahal SS sendiri pun sudah ada agenda. Ketika SN kemudian memperlihatkan kedekatannya dengan mafia dunia pertambangan lainnya, yang sepertinya juga dekat dengan SS (ketika SS masih di Pertamina), maka SS yang pada dasarnya sudah merasakan bahwa dia akan diresuffle, memainkan jurus lempar kotoran. Semua kotoran dibuang ke pihak lain. Ke Luhut Panjaitan dan ke Setya Novanto. Tunggu dulu, saya tidak berpendapat bahwa Luhut maupun Setya tidak terlibat dalam kasus ini, hanya saja, menurut transkrip yang beredar, suara Setya yang terdengar dan nama Luhut juga disebut-sebut. Tentu perlu diklarifikasi. Kalau Setya pada awalnya sudah mengakui kalau memang itu suaranya, yang kemudian sesudah bertemu tetua KMP, maka sekarang mengatakan bukan suaranya. Dengan membuang kotoran, maka SS berharap pamor namanya naik. Setidaknya akan menuai simpati. Terus terang saya sama sekali tidak bersimpati. Di lain sisi, Presiden yang sudah memberikan 5 syarat, merasa syarat itu masuk akal dan tinggal dijalani. Presiden lupa, itikad baik dari beliau dan ketulusan beliau, tidak dapat diterima semua orang, apalagi bekas petinggi BIN. Bukankah orang BIN itu wajib curiga setiap saat?
Kalau kita berandai-andai, maka Freeport ini bak sepotong daging yang lezat, semua orang ingin mendapatkan sekerat. Cerita kalau perusahaan JK adalah kontraktor di Freeport sudah beredar di mana-mana. Apakah ini tidak menimbulkan konflik kepentingan? Coba kita berpikir lagi, siapa SS sampai tiba-tiba diangkat menjadi menteri ESDM? Siapa yang merekomendasi? Rini, JK atau.....? Dari sana kita bisa tahu, atas kepentingan siapa SS ditaruh sebagai Menteri ESDM. Dengan berbagai cara, semua orang berharap kecipratan dari Freeport, apakah dalam bentuk saham, pekerjaan atau uang?
Memang Luhut pernah berkata, bahwa Freeport ini perusahaan sampah. Tunggu dulu, perusahaan sampah ini masih bisa menyediakan jutaan dolar, lho.
Lalu, sekali ini, kenapa KPK tidak mau mengambil alih kasus ini? Bukankah memberikan janji saja pun sudah bisa dianggap korupsi? Apakah belum memenuhi pasal bersangkutan?
Dan terakhir, bukan hanya SN yang belakangan mencatut nama Presiden. Sekarang ini di semua kalangan pejabat, yang pernah dikasih tugas sama Presiden, sudah kena penyakit Harmoko. "Kami bertindak atas petunjuk/instruksi/perintah Pak Presiden." Cilakanya, dengan kalimat sakti ini, maka mereka melakukan apa pun, baik yang benar mau pun tidak. Pokoknya perintah Presiden. Andai Presiden tahu keadaan di lapangan, tentu hatinya miris.
Kenapa Presiden dicatut terus namanya? Pertama, masih ada mentalitas budak, belum ada mentalitas mandiri dan merdeka. Jadi semua orang masih ingin menyenangkan atasannya, meski terkesan menjilat. Kedua, sikap Presiden yang sedikit bicara atau tidak fasih berpidato, terkadang membuat orang-orang terpancing untuk membantu Presiden menyuarakan isi hati Presiden. Tentu tidak pada tempatnya.