Dengan novel Suwung, sastrawan Lina Kelana menggebrak sastra Indonesia. Peluncuran novel berlangsung sukses. Ditemani penyunting, Beni Setia, ia bicara anak rohaninya di PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa), Blora, Jawa Tengah (22/12/2012). Sekilas sinopsis novel Suwung:
Tidak ada yang linear, ada berawal serta pasti berakhir, semua pusaran dari hal-hal yang fragmentaristik dan bermakna sebagai episode. Dan semua itu terjadi serta hadir sebagai cerita yang terjadi dalam benak Ra Hasti Dewantari. Seorang anak di luar nikah dari wanita pribumi yang diperkosa oleh bajingan/brandalan berkulit putih di Surabaya, sehingga eksistensi sebagai si berdarah campuran membuatnya diolok-olok warga pribuminya, ia terasing dan karena itu terpaksa dibawa mengungsi oleh pamannya ke pedalaman Jawa, yang justru karena aktivitas politiknya membuat ia harus menjauhi wilayah yang dikontrol oleh administrasi polisi kolonial Belanda.
Berikut wawancara saya dengan Lina Kelana. Terbagi dua bagian: tentang novel Suwung dan gagasan penulis pada sastra Indonesia.
I.Tentang Novel Suwung
Antok Serean:
Ide yang melatarbelakangi Anda menulis novel Suwung?
Lina Kelana:
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang yang saya amati. Bahwa—pada waktu tertentu—saya mendapati ada banyak (sebagian besar) orang mengalami hal semacam ”kekacauan” dalam diri—pribadi—nya. Tentang kekecewaan, tentang kesedihan, tentang amarah, tentang keinginan-keinginan tak tersampaikan dan sebagainya, yang kesemuanya itu begitu berat disangganya. Namun ia tak memiliki ruang cukup untuk berbagi dengan orang-orang di sekitarnya (baca: yang dipercaya). Dan dari sana, gejolak batin itu terjadi. Mereka sudah tak bisa menangis lagi. Mereka mencari “tempat” aman yang bisa menyamankan mereka dari luka-luka, dari duka yang mereka rasakan. Karena terlalu penat beban yang diampunya, ia kemudian sering berangan—dipungkiri atau tidak, hal ini pasti dialami pada orang-orang yang mengalami derita tersebut. Sekali, dua kali, dan seterusnya, mereka akan menemukan keasyikan tersendiri—karena terbebas dari rasa sakit (walau sementara)—dan mereka cenderung akan melakukan hal yang sama tiap kali tak bisa keluar dari zona aman saat menghadapi masalah. Mereka melarikan—melampiaskan—diri pada imajinasi/halusinasi yang mereka ciptakan. Nah, tanpa sadar, dari sana mereka menciptakan karakter-karakterbaru, yang selain mereka yang sebenarnya—pada tokoh-tokoh yang tanpa sengaja mereka ciptakan. Pada suatu titik, mereka akan sepenuhnya masuk dalam karakter tokoh—yang mereka ciptakan—atau menjadi sosok yang ada dalam imajinasi mereka. Jika terlampau masuk, hal ini tak pelak mempengaruhinya dalam hal bersikap, berkata, berpikir, dan sebagainya. Sekilas memang tampak biasa, namun orang yang betul-betul memperhatikan akan menganggap bahwa memang ada perubahan yang terjadi pada si subyek (baca: pelaku). Ironisnya, hal ini dianggap biasa oleh orang sekitar, padahal mereka tidak sedang biasa saja (sakit). Perhatian dan sebagainya yang harusnya mereka dapatkan, alih-alih dilakukan, mereka dan masalahnya justru malah diabaikan begitu saja.
Dari sana kemudian saya tertarik untuk mendokumentasikan dalam bentuk buku. Saya menduga—lepas dari sifatnya yang subyektif—penderitaan-penderitaan itu ada karena diciptakan. Penderitaan-penderitaan: mulai dari pelecehan seksual, pendiskriminasian gender, SARA, dan stigma-stigma yang dogmatis, akan memberi efek bagi psikologis seseorang. Termasuk pada pengebirian HAM, eksploitasi alam, penggundulan hutan, pencaplokan gunung, penggusuran paksa lahan milik pribadi, keputusan hakim yang tak adil, pembiaran koruptor, dan kejahatan lain. Saya pikir, pasti berpengaruh bagi individu dan atau masyarakat. Hanya saja mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena memang mereka tak punya kuasa untuk melakukan apa-apa.
Antok Serean:
Ceritakan proses kreatif, mencakup waktu dan kendalanya?
Lina Kelana:
Saya tidak begitu ingat kapan tepatnya saya mulai menulis naskah ini. Tetapi yang jelas, naskah saya tulis di bulan-bulan pada tahun 2010. Naskah saya tulis di sela-sela saya menulis puisi. Kebetulan awal kali pertama saya menulis, saya menulis puisi—masih berlanjut sampai sekarang. Pada saat mula saya menulis, tak ada rancangan atau ide apa yang akan saya tulis. Waktu itu saya mencoba menuliskan “pemberontakan-pemberontakan” pada diri saya yang muncul dari apa yang saya lihat, amati, dan rasakan. Saya menulis naskah ini tidak serta-merta. Saya menulisnya pada saat saya ingin menulis dan ada niat untuk melanjutkan paragraf demi paragraph dari draft naskah tersebut. Seperti ada energi yang meminta saya untuk menuntaskan naskah hingga sampai ke akhir. Pernah saya merencanakan sebuah ending pada naskah Suwung ini. Tetapi, Suwung lebih suka menentukan jalannya sendiri. Dan hal yang bisa saya lakukan adalah mengikutinya dengan sepenuh hati hingga di akhir.
Kendala yang saya alami berkenaan dengan judul. Sesudah naskah jadi dan disunting oleh Mas Beni Setia—selaku penyunting dan orang yang saya ajak berkonsultasi tentang naskah tersebut. Bahkan sampai naskah tersebut masuk ke penerbit, saya belum menemukan judul yang pas, berikut cover-nya. Lucu bukan? Tetapi, itulah yang terjadi. Setelah dapat cover pun, judul masih belum saya putuskan. Baru setelah hampir satu bulan, dari beberapa referensi yang masuk, akhirnya batin saya memutuskan untuk memakai Suwung sebagai judulnya. Dan setelah saya amati—menurut subyektif saya—klop dengan cover. Cover saya dapatkan dari lukisan Pak Iskan berjudul Gunungan Wayang, seorang pelukis dari Ngawi, Jawa Timur.
Antok Serean:
Referensi Anda menulis novel Suwung (buku, film, catatan perjalanan, sejarah)?
Lina Kelana:
Ada beberapa pertanyaan yang sama ketika Suwung lahir. Tidak ada bacaan atau film khusus yang saya baca dan lihat untuk Suwung. Mungkin karena—dulu—saya penyuka buku psikoanalisis dan filsafat, membawa saya melangkah sampai ke tahap ini. Walau kalau boleh saya katakan, sampai detik ini buku-buku itu masih membuat saya bingung hehehe…
Untuk sejarah sih tak murni seperti yang saya gambarkan, ya. Saya hanya mengambil “efek” yang beberapa orang rasakan akibat penderitaan yang mereka alami. Saya mengamati mereka. Kebetulan obyeknya beragam: “mantan” korban kolonial, “mantan” korban orde baru, korban dari broken home, broken heart, dan sebagainya.
Catatan perjalanan. Hmm…saya memiliki seorang teman “unik”. Dia pernah mengalami kekonsletan pribadi. Dia pernah mengalami yang namanya gila. Dan dia bisa menceritakan bagaimana gaduhnya ia dalam kesunyiannya. Saya memercayai itu, karena saya pernah mengalami kejadian—bukan gila hehe—yang mana itu membuka ruang pikir dan pemahaman saya bahwa di dalam diri kita, ada banyak ragam pribadi yang dimiliki. Setiap orang memilikinya. Hanya mereka mungkin tak menyadarinya telah memiliki. Saya kurang paham dengan Kejawen (hal-hal dalam filosofi Jawa) dan sebagainya, yang mengatakan bahwa seorang itu memiliki dulur kembar (saudara kembar)—ari-ari dan semacamnya. Tetapi, saya percaya, tiap individu ada khadamnya. Wah, saya kok jadi ngelantur begini, ya? Hehe…Yang jelas, saya percaya itu sama seperti saya mempercayai ada malaikat dan setan dalam diri seorang manusia—dalam satu paket tubuh dan jiwa.
Antok Serean:
Pesan apa yang ingin Anda sampaikan ke pembaca?
Lina Kelana:
Efek dari penderitaan itu ada. Dan saya ingin setiap dari kita memahami, bahwa apa pun tindakan yang kita lakukan, akan berakibat bagi orang lain. Kedua, agar kita lebih belajar legawa (ikhlas, nerima ing pandum tapi tetap berusaha/ikhtiar) dan “memperbaiki” perpektif pandang pada apa saja yang terjadi—baik atau buruk—pada diri kita. Intinya mengerti, bahwa apa yang terjadi pasti ada hikmah di sebaliknya. Yang ketiga, bahwa penderitaan yang diciptakan (seperti yang saya sebutkan di atas), hendaklah kita kurangi atau kita seimbangkan—jika tidak bisa menghentikan—setidaknyalah masih melihat Pancasila sebagai dasarnya, serta berbuatlah yang berkemanusiaan, yang adil dan beradab bagi lingkungan, alam, maupun pada manusia itu sendiri.
Kenapa memilih penerbit Pataba Press?
Lina Kelana:
Sebenarnya saya justru belum berpikir untuk menerbitkannya. Karena menurut saya, saya masih butuh banyak hal untuk membuatnya seperti sekarang ini. Tetapi begitulah, mulai dari judul, cover, sampai pada penerbit ini, semua berjalan dengan tanpa perencanaan. Artinya semua mengalir dan saya mengikutinya. Mungkin inilah yang disebut dengan takdir, bahwaapa yang kita lakukan itu, ada tangan-tangan yang turut campur di dalamnya. Dan saya percaya itu, karena Tuhan ingin menyampaikan sesuatu—kepada saya maupun orang lain, pembaca. Kita tunggu saja apa itu. Sebagian “keajaiban” sudah saya alami, dan saya pikir, keajaiban yang lain akan menyusul, kita tunggu saja apa itu. Tuhan punya rahasia.
II.Gagasan Lina Kelana tentang Sastra Indonesia
Antok Serean:
Apa pendapat Anda tentang perkembangan sastra mutakhir?
Lina Kelana:
Saya menerjuni dunia tulis-menulis baru dua tahun. Dan kurang dari setahun saya berbaur dengan pegiat-pegiat di dalamnya. Saya tidak tahu benar bagaimana kondisi sastra—apalagi tentang sastra mutakhir. Menurut saya, sastra sekarang lebih menjamur—lepas dari bagaimana sebuah karya itu dinilai bagus atau tidak. Banyak media yang bisa dijadikan lahan untuk mencipta atau mengapresisai karya sastra. Banyak yang mulai menulis, apakah itu puisi, cerpen, atau sekedar mengeluarkan unek-unek/curhat dalam pengungkapan yang puitik. Saya kira itu potensi, yang apabila dikembangkan akan menjadi daya yang kuat. Facebook, Blog, Twitter dan media-media online semakin marak. Hal ini mungkin sedikit melunturkan anggapan karya yang dimuat di media cetak (baca: koran atau majalah) adalah yang terbaik.
Saya tidak mengerti seluk-beluk kontroversi media cetak dan online, tetapi yang saya rasa, polemik di dalamnya itu ada. Meski kesenjangan itu kian menipis, tetapi itu masih ada. Mungkin tak jauh beda dengan persinggungan antara sastra lisan/gerakan atau pun sastra tulisan, sastra kota atau sastra pinggiran. Bagi saya, apa pun bidangnya, politik pasti ada. Jadi, selama kita bisa berpolitik sehat dan hidup berdampingan, so what?
Yang terpenting bagi saya adalah teruslah berkarya dan ikuti kata hati. Selama kita tidak berbuat yang merugikan orang lain, saya kira, kita akan selalu save dengan keadaan, kondisi, atau lingkungan—sastra—kita, dan Tuhan akan selalu bersama kita—apa pun keadaannya.
Saya senang, budaya baca-tulis di Indonesia perlahan merangkak naik. Mudah-mudahan ini berlanjut hingga membudaya di hampir tiap pelosok negeri. Saya membayangkan negara akan terbelakak jika kita bisa menjadi hulu ledak yang siap menampung amunisi-amunisi yang ada. Mari, majukan sastra Indonesia!
Antok Serean:
Opini Anda tentang ragam aliran sastra Indonesia (baca: kubu) dan posisi Anda di mana?
Lina Kelana:
Pemilahan itu ada karena kondisi/kejadian. Artinya, pengklasifikasian itu muncul setelah ditemukannya karya sastra yang beragam. Saya tidak menjustifikasi bahwa itu bersifat permanen. Artinya, siapa saja berpeluang untuk pindah aliran kapan dan di mana saja, selama ia mau dan bisa. Karena bagi saya, alah biasa karena terbiasa—mengutip ungkapan Kang Gunawan Budi Santoso. Dan saya akan coba itu hehe…
Saya tidak ingin proses kreatif menulis saya “dikotori” oleh pengelompokan-pengelompokan tersebut, beserta identitas/embel-embel yang menyertainya. Bukan berarti saya mengabaikan kanon-kanon yang ada, tidak. Saya tetap melihatnya sebagai kewajaran dan kehadirannya turut menyemangati dan mewarnai kehidupan sastra di Indonesia.
Terserah Suwung digolongkan dalam jenis sastra yang mana dan bagaimana. Yang jelas, ia akan memiliki identitas yang pas—nantinya. Tak menutup kemungkinan jika ia memiliki lebih dari satu karakter (seperti isi naskahnya, ya). Ia memiliki kehidupannya sendiri. Dan saya mati (tidak bisa berbuat apa-apa) setelah ia lahir. Yang jelas, ia tak seperti naskah-naskah yang pernah Habiburrahman lahirkan. Mungkin juga ia—Suwung—adalah jenis baru yang tak ada namanya.
Saya hanya satu dari banyak sumbangsih yang coba melahirkan satu karya—dengan harapan—hal tersebut akan memberikan energi positif bagi sastra kita. Jika kali ini saya tidak menyentuh daerah islami atau pop misalnya, mungkin suatu saat saya akan mencoba. Kebetulan saat ini saya sedang menyiapkan naskah novel tentang sejarah kota kecil saya. Semoga mendapat ridlo Tuhan YME. Tekad saya, saya akan mencoba ke ranah apa saja.
Antok Serean:
Menurut Anda, apa tantangan terbesar sastra Indonesia di masa depan?
Lina Kelana:
Saya pikir kita berperang melawan diri sendiri—idealisme. Idealisme yang kaku dan kurang terbuka. Saling gontok-gontokan, adu bendera, dan semacamnya. Entahlah, saya kurang begitu mengikuti perkembangannya. Bagi saya yang perlu kita lakukan adalah mari berbenah diri dan mengupayakan bagaimana kita bisa membangun kehidupan sastra lebih maju dan berkembang. Memang, kita tidak bisa mengandalkan “tangan” dan “mata” pemerintah dalam hal ini. Tetapi, saya percaya pada semboyan: bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Selain itu, kita dituntut untuk melahirkan karya-karya yang kompeten, yang pada akhirnya nanti dapat mengharumkan nama bangsa, baik di kalangan negeri maupun internasional. Coba kita amati, sangat terbatas yang bisa menembus wilayah itu. Berbeda dengan penulis sastra dunia lainnya. Jujur sebelumnya—mungkin juga sampai detik ini—saya masih menyukai novel (terjemahan) dari luar negeri. Walau tidak saya pungkiri, karya-karya sastra dalam negeri juga bagus-bagus. Kekaguman saya pada Pramoedya Ananta Toer—meski saya tak penuh mengikuti kisahnya—yang berjuang demi bangsanya menjadi penyemangat tersendiri bagi saya. Semoga saya bisa mengikuti jejak beliau. Amin.
Antok Serean:
Pesan buat generasi muda yang ingin menerjuni dunia tulis-menulis?
Lina Kelana:
Lakukan yang bisa dilakukan, terbuka, punyai dedikasi, dan integritas tinggi. Baca dan baca (baca dalam arti luas). Serap, teruslah belajar dan belajar. Soal tulisan baik atau tidak, itu efek dari proses kreatif kita.
Antok Serean:
Bagi Anda, tujuan menulis itu sendiri apa?
Lina Kelana:
Seperti menulis kitab suci, tulisan dihadirkan untuk menyampaikan kebaikan dan mencipta kebaikan. Menulis adalah mencatatkan sebuah amanat Tuhan dengan pendekatan humanistik.
Antok Serean:
Sebutkan nama penulis dan buku-buku yang menginspirasi Anda?
Lina Kelana:
Kali pertama saya merasa marah ketika saya membaca Yang Liu-nya Lang Fang. Keterkejutan-keterkejutan yang saya temukan dalam naskah-naskahnya itu, secara tidak sadar menuntun saya untuk mendalami seberapa dahsyat arti sebuah tulisan. Apa sih hebatnya bahasa dan sastra Indonesia? Ejek saya waktu itu. Saya berangkat dari kebencian yang teramat besar pada apa yang disebut sastra. Saya juga tak punya basic sebagai bekal yang cukup untuk merenangi dunia sastra. Tetapi saya yakin, adanya niat dan terus berusaha, itulah guru terbaik yang bisa diikuti.
Saya menjumpai Yang Liu ketika secara tak sengaja saya terpancing dengan testimoni di sampul belakang buku tersebut. Yang Liu saya beli di jalan Semarang, Surabaya. Waktu itu sekitar tahun 2007. Tapi itulah buku (sastra) pertama yang saya baca selain buku-buku berat punya Aristoteles, Nietzsche dan sebagainya—yang sampai sekarang masih belum saya pahami hehe…
Saya menyukai Afrizal Malna, Pramoedya Ananta Toer, Italo Calvino (penulis Kota-kota Imanijer, buku prosa), Pringadi Abdi Surya (sahabat yang saya kenal di Facebook), Dan Brown (penulis The Davinci Code), dan saya belajar dari ayah saya, Beni Setia. Buku-buku yang mungkin memicu saya memasuki dunia lain seperti seri filsafat yang ditulis Paul Strathern, T.Z Lavine, ensiklopedia Akidah Ahlusunah (Syekh Hisyam Kabbani), Seri Gagasan Psikoanalisis oleh Kate Barrows dkk, yang buku-buku itu khatam saya baca sekitar tahun 2006—tiga atau empat tahun sebelum saya menulis. Tapi saya sudah lupa isinya haha…
Judul: Suwung
Penulis: Lina Kelana
Penyunting: Beni Setia
Penerbit: Pataba Press (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa), Blora
Cetakan: I, Oktober 2011
Tebal: 209 halaman
ISBN: -
Harga: Rp. 40.000,-
Pemesanan: 0877 5333 4977 a.n. Lina Kelana
Lina Kelana, tinggal di Babat, kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Memulai penulis pada akhir tahun 2009. Menyukai menulis puisi, cerpen, esai, dan novel. Pernah tergabung dalam Antologi Puisi Tarian Ilalang (2010), Antologi Berjalan Ke Utara (ASAS UPI, 2010), Sepuluh Kelok di Mouseland (2011), dan Antologi Puisi Persembahan Dzikir Pengantin Taman Sare. Suwung adalah novel pertamanya.
Antok Serean, penulis. Bergiat di GAYa NUSANTARA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H